Selasa, 21 September 2010

Fang Sen (Pelepasan Makhluk Hidup)

Fang Sen sesungguhnya merupakan tindakan untuk menebar cinta kasih kepada semua makhluk. Kita dengan melepas makhluk tersebut ke alam bebas maka kita telah menebarkan cinta kasih. Perbuatan ini merupakan perbuatan yang sangat positif untuk melatih diri kita melakukan perbuatan baik dengan memunculkan benih cinta kasih. Fang Sen yang dilakukan sesungguhnya didasari pada harapan agar semua makhluk hidup berbahagia dan bebas dari penderitaan.

Dengan melakukan Fang Sen berarti kita telah berkontribusi dalam menjaga ekosistem untuk menghindari dari kepunahan spesies-spesies. Kita mengembalikan mereka ke habitatnya sehingga mereka dapat bereproduksi untuk menghasilkan hewan-hewan baru. Sebuah tebaran cinta kasih yang mulia.

Umat Buddha memandang Fang Sen ini merupakan kegiatan yang penting dan perlu untuk dilaksanakan secara terus-menerus. Hal ini karena Fang Sen memiliki makna spiritual yang sangat dalam, yaitu : Pengembangan cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk. Salah satu cara untuk purifikasi karma buruk, khususnya karma membunuh, yaitu dengan melakukan hal yang berkebalikan (antidote). Dengan Fang Sen, kita telah memperpanjang umur makhluk hidup, yang berkebalikan dengan mengambil nyawa dari makhluk lain.

Pelepasan terhadap satwa mengandung arti pula dengan melepaskan penderitaan hewan dapat hidup bebas dihabitatnya diharapkan dengan perbuatan serupa tersebut kita pun dapat terbebas dari segala kesulitan dan kesukaran hidup yang kita hadapi dan alami. Pengaruh ekosistem, yaitu kegiatan ini ikut menjaga dan memelihara keseimbangan alam, baik habitat yang hidup di air maupun di darat karena kita mengenal adanya hukum alam. Keseimbangan alam akan mempengaruhi hidup manusia. Oleh karena itu kita perlu bijaksana dalam mengatur dan memanfaatkan alam semesta. Tindakan penggalian alam secara maksimal tanpa ada upaya menjaga keseimbangan akan membawa bencana pada manusia nantinya. Buddha Dharma adalah ajaran yang sangat menghargai kehidupan. Setiap makhluk hidup (sekecil apapun) adalah sama berharganya dengan diri kita. Buddha Dharma mengajarkan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak mengakhiri kehidupan makhluk lain dengan alasan apapun.

Dalam Kitab Suci Tripitaka, bagian Anguttara Nikaya III, 203, Buddha mengajarkan lima aturan moral (sila) yang dikenal dengan Panca Sila Buddhis. Kelima sila tersebut adalah bahwa seorang umat Buddha bertekad melatih diri menghindarkan diri dari:

  1. pembunuhan makhluk hidup
  2. perbuatan pencurian
  3. perbuatan asusila
  4. ucapan yang tidak benar
  5. minuman yang menyebabkan kesadaran berkurang.
Namun Fang Sen tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, Kegiatan ini diawali dengan pembacaan parita oleh Bhante yang memimpin kegiatan ini, kemudian dilanjutnya dengan pemercikan air parrita kepada hewan yang akan dilepaskan ke alam bebas dan umat yang mengikuti kegiatan Fang Sen. Setelah itu, hewan-hewan tersebut dibawa ke sungai dan dilepaskan ke alam bebas.

Senin, 20 September 2010

32 Ciri Seorang Buddha

Sebagai seorang umat Buddha tentu kita mengenal dan mengetahui siapa Sang Buddha. Yahhh betul, guru kita yang telah membabarkan dan mengajarkan Dhamma kepada kita menuju Nibbana.
Siapa Sang Buddha sebelum menjadi seorang Buddha tentu anda juga tahu. Yaaaa betul, dahulu beliau kita kenal dengan Pangeran Sidharta yang baik hati dan mulia hatinya hingga rela mengorbankan segala yang beliau punya demi mencari jalan melenyapkan penderitaan bagi umat manusia.
Namun pertanyaannya sekarang adalah apakah Pangeran Sidharta dahulu sebelum menjadi Buddha sama saja dengan orang lain?? apakah ada perbedaan atau ciri-ciri khusus pada diri beliau?? jawabnya adalah "Beda", beliau memang sudah mempunyai ciri-ciri seorang Buddha. Lalu tahukah anda ciri-ciri apa yang membedakan seorang Buddha dengan makhluk lain??

Jawabannya adalah:

1) Kaki yang datar

2) Kaki yang bercirikan suatu roda dengan seribu jeruju (Utsanga-pada)

3) Jari tangan yang ramping

4) Kaki dan tangan yang lemah gemulai

5) Jari kaki dan tangan terselaput secara indah (Jal-anguli-hasta-pada)

6) Tumit yang berukuran sempurna

7) Permukaan bagian atas di antara jari kaki dan pergelangan kaki melengkung

8) Paha yang seperti raja rusa jantan

9) Tangan yang mencapai ke bawah lutut

10) Alat tubuh rahasia lelaki yang tersembunyi

11) Tinggi dan lebar tubuh yang seimbang

12) Rambut yang berwarna biru tua

13) Bulu badan yang ikal dan halus gemulai

14) Tubuh yang berwarna keemasan

15) Kaki yang memancarkan cahaya

16) Kulit yang lembut nan halus

17) Tujuh bagian tubuh (2 telapak kaki, 2 muka tangan, 2 bahu dan kepala gigi) padat ideal (Sapt-Otsada, Sapt Occhada)

18) Dibawah ketiak berisi padat (Cit-antaramsa)

19) Tubuh berbentuk singa

20) Tubuh yang lurus (Nyagrodha)

21) Bahu yang padat (Susamvrita)

22) Jumlah gigi empat puluh

23) Gigi yang putih, rata, rapat (Avirala-danta)

24) Empat gigi taring putih murni

25) Rahang yang seperti rahang singa

26) Air liur yang dapat melezatkan makanan (rasa-rasagrata)

27) Lidah yang panjang dan lebar (Prabhuta-tanu-jihva)

28) Suara yang ulam dan merdu (Brahma-svara)

29) Mata yang biru tua (Abhinila)

30) Bulu mata seperti bulu mata raja sapi jantan

31) Suatu lingkaran putih di antara bulu matanya memancarkan cahaya (urna)

32) Kepala gigi yang penuh daging

Minggu, 19 September 2010

Biarkanlah Pohon Itu Tumbuh - Ven. Ajahn Chah

Sang Buddha menjelaskan bahwa segala sesuatu secara alamiah, sekali Anda telah melaksanakan tugas Anda, serahkanlah hasilnya pada alam, pada kekuatan akumulasi karmamu. Akan tetapi pengerahan usahamu harus tidak berkurang. Apakah buah kebijaksanaan itu datangnya cepat atau lambat Anda tidak dapat memaksanya, seperti halnya Anda tidak dapat memaksa tumbuhnya sebuah pohon yang Anda tanam. Pohon itu punya masanya sendiri. Tugasmu hanyalah menggali lubang, mengairi dan memupuknya, serta menjaganya dari hama. Tapi cara pohon itu bertumbuh adalah terserah kepada pohon itu sendiri. Jika Anda berlatih seperti ini, yakinlah Anda bahwa semuanya akan beres, dan tanaman Anda akan tumbuh.

Karena itu, Anda harus mengerti perbedaan antara kerja Anda dengan kerja pohon itu, Serahkanlah urusan pohon itu kepada pohon itu, dan bertanggung jawablah kepada urusan Anda sendiri. Jika batin tidak tahu apa yang perlu ia lakukan, ia akan memaksa tanaman itu untuk tumbuh, berbunga dan berbuah pada hari yang sama. Ini adalah pandangan yang salah, penyebab besar dari penderitaan. Berlatih sajalah pada arah yang benar dan serahkan hasilnya pada karmamu. Kemudian, apakah akan membutuhkan waktu satu atau ribuan kali kehidupan, latihan Anda akan berada dalam kedamaian.

Sumber : Buku Telaga Hutan Yang Hening By Mutiara Dhamma.

Kamis, 16 September 2010

Kebaktian Dan Manfaatnya

Salah satu dari sepuluh perbuatan baik, yang di ajarkan oleh Sang Buddha adalah Veyyavaca (Berbhakti kepada nusa,bangsa dan agama. Berbhakti kepada nusa dan bangsa, dalam hal ini adalah turut melindungi, membela, mempertahankan dan memperjuangkan kemakmuran, demi nusa dan bangsa. Salah satu wujud nyata dari kontribusi kemakmuran demi nusa dan bangsa adalah dengan membayar pajak yang sejujurnya.

Didalam kitab suci Anguttara Nikaya III : 45, Sang Buddha menyabdakan : "Dengan harta kekayaan yang telah dikumpulkan dengan bersemangat, dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya bahagia, orang tuanya, istri dan anak anaknya, pelayan, bawahannya dan orang-orang lain juga bahagia dapat mempertahankan kekayaanya memberikan hadiah kepada sanak keluarga, tamu-tamu, arwah para leluhur dan para dewa. Membayar pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci, untuk mengumpulkan pahala...."

Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, sudah seharusnya kita berbhakti kepada nusa dan bangsa. Coba direnungkan barang sejenak, apakah yang bakal terjadi, jika seandainya kita hidup di dalam kekacauan, kerusuhan, ketidakdamaian dan kekerasan…..? Pasti sungguh menderita sekali akibatnya. Tanpa adanya bhakti yang mendalam terhadap nusa dan bangsa maka sifat memiliki (self of belongings) untuk melindungi, menjaga dan mempertahankan nusa dan bangsa, akan sirna segera. Jika kondisi ini sampai terjadi, maka penderitaan yang berkepanjanganlah, yang akan dirasakan.

Dan bagaimana pula, jika kita sebagai suatu individu yang beragama….? Tanpa adanya bhakti yang mendalam terhadap agama yang dianut maka sampai kapanpun, yang namanya kebahagiaan adalah bagaikan angan angan, yang berada di angkasa luar. Salah satu wujud bhakti umat Buddha, terhadap ajaran luhur Sang Buddha adalah dengan mau ikut berpartisipasi aktif, disetiap aktivitas Vihara/Cetiya, baik di hari-hari besar agama Buddha, maupun disetiap hari uposatha (kebhaktian). Umumnya, kita baru mau melaksanakan puja bhakti (kebhaktian) jika ada masalah-masalah yang tidak terpecahkan,tertimpa musibah, ingin mendapatkan berkahan ini dan itu, minta murah rezeki/umur yang panjang atau hanya sekedar formalitas, agar tidak dikatakan "atheis : tidak beragama". Jika dikarenakan oleh kondisi ini, kita baru mau ke Vihara/Cetiya, akan adakah manfaatnya…..? Sudah pasti tidak. Ini bisa diibaratkan dengan, setelah kehujanan (basah), baru menyediakan payung. Sebelum sakit, kesehatan tidak dijaga dengan baik, setelah sakit baru kedokter. Bukankah ini suatu hal yg sudah terlambat…? Singkatnya, jika ada masalah, Sang Buddha teringat tetapi jika lagi senang, Sang Buddha terlupakan. Inilah salah satu contoh dari :" moha : kebodohan".

Salah satu faktor yang menyebabkan, sampai timbulnya keengganan untuk mau ke Vihara/Cetiya, mungkin saja karena tidak dimilikinya pengertian yang baik, akan manfaat manfaat dari ke Vihara/Cetiaya. Sehingga timbul suatu pandangan salah, yang menyatakan bahwa ke Vihara/Cetiya itu, hanyalah membuang buang uang, waktu, tenaga dan perasaan (dicela atau disepelekan) saja. Apakah benar adanya bahwa ke Vihara/Cetiya, tiada manfaatnya sama sekali……? Nach, untuk lebih jelasnya, akan ada tidaknya manfaat manfaat ke Vihara/Cetiaya, marilah kita renungkan sesaat, uraian yang tertera dibawah ini. Kalau kita memiliki keseriusan dan keyakinan yang mendalam, di dalam pelaksanaan kebhaktian maka secara tidak langsung kita telah :

  1. Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan NAMASKARA.

    Pada dasarnya, kita ini termasuk manusia yang sombong dan angkuh. Mau tahu bukti nya…..? Disaat kita photo bersama dan setelah hasilnya didapatkan. Gambar siapakah yang pertama sekali dilihat…..? Pasti diri sendiri ! Mengapa bukan orang lain….? Inilah salah satu contoh dari ke Aku an. Contoh yang lainnya adalah apakah reaksi yang bakal timbul jika dikatakan cantik dan menawan…..?

    Pasti, bangganya luar biasa atau lupa diri barang sejenak. Dan bisa saja merasakan, seakan akan berada di angkasa, bagaikan burung yang terbang melayang layang kesana-kemari. Coba kalau kondisi sebaliknya yang terjadi, misalnya dikatakan jelek, jorok, menjengkelkan, kampungan, tidak bermoral dan membosankan. Reaksi apakah yang bakal timbul….? Pasti kesedihan yang berkepanjangan, bisa saja dicurahkan dalam wujud tangisan atau ratapan, yang ber episode lamanya. Baginya, hidup ini tiada artinya sama sekali. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak dan pikiranpun serba ruwet.

    Ini adalah kondisi kondisi yang umumnya, membelenggu bathin kita. Kalau di puji, gembiranya luara bisa, dan bisa saja sampai lupa daratan tetapi jika dicela, sedihnya pun tak terkirakan, baginya hidup ini, tidaklah berarti lagi. Ciri khas orang orang yang ke Aku an nya sangat menonjol adalah sedih dikala dicela dan gembira (bangga) kalau dipuji. Sang Buddha menyabdakan : "Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana, tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian….."

    Jadi, bisa disimpulkan bahwa ke AKU an yang sangat menonjol, tidaklah berbeda dengan Si bodoh. Bodoh dalam hal ini adalah gampang (mudah) diombang ambing dan dipengaruhi, untuk mau melakukan perbuatan perbuatan, apapun juga. Selanjutnya, bagaimana caranya agar kita bisa menekan/mengurangi ke AKU an di Vihara/Cetiya…..? Caranya yaitu melalui pelaksanaan Namaskara (berlutut dan bersujud) sebanyak tiga kali, dihadapan Buddha rupang (Arca/patung Nya, Sang Buddha). Dalam hal ini, apakah kita menyembah-nyembah patung…? Pasti tidak ! Sang Buddha saja tidak kita sembah, apalagi patung Nya. Makna dari namaskara, merupakan salah satu wujud dari penghormatan dan rasa terima kasih kita, atas jasa jasa luhur Sang Buddha. Sikap namaskara, dalam hal ini, tidaklah difokuskan untuk menyembah nyembah patung. Semasa hidup Nya, Sang Buddha tidak pernah memperkenankan umat Nya, untuk menyembah nyembah beliau. Disetiap sabda Nya, Sang Buddha selalu menekankan bahwa cara penghormatan yang benar terhadap beliau adalah dengan melaksanakan Dharma (kebenaran) di dalam kehidupan yang nyata.

    Jadi adalah suatu anggapan yang salah dan fatal sekali, jika mengatakan bahwa umat Buddha menyembah-nyembah patung, di setiap kali kebhaktian. Sikap Namaskara/penghormatan umat Buddha di hadapan altar suci Sang Buddha, sama halnya dengan penghormatan, yang kita arahkan kepada bendera Merah Putih, yang merupakan lambang persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Umat Buddha menghormati dan menghargai bendera Merah Putih, juga atas dasar wujud terima kasih atas pengorbanan dan perjuangan para pahlawan terdahulu, dan demikan juga halnya dengan patungnya Sang Buddha. Pada waktu kita bernamaskara dihadapan altar suci Sang Buddha, disanalah kita merenungkan kembali, apalah artinya diriku ini jika tanpa bimbingan dan tuntunan Dharma (ajaran Nya Sang Buddha) Dari segi keagungan, aku sama sekali tiada artinya dibandingkan Sang Buddha, hidupku selalu terbelenggu oleh nafsu nafsu keduniawian, ingin makan yang enak, rumah yang indah, istri/suami yang cantik/gagah, ingin ini dan itu…akhirnya kabut avijja (ketidak tahuan) semakin tebal menyelimuti diriku…. Hanya, Sang Buddhalah yang bisa menerangi diriku agar terlepas dari "dukkha : derita" yang mendalam ini. Dengan selalu mengadakan perenungan perenungan ini, maka tanpa disadari, kita telah belajar menekan ke AKU an, yang begitu kentalnya, melekat di hati sanubari. Itulah salah satu manfaat yang di peroleh di Vihara/Cetiya.

  2. Mendapat perlindungan melalui pembacaan PARITTA/MANTRAM suci.

    Setelah kita ber namaskara (berlutut dan bersujud), tahapan selanjutnya adalah kita ikut serta di dalam penglafalan/pengumandangan Paritta Paritta/Mantram Mantram atau Sutra Sutra suci. Secara garis besarnya, Paritta berarti perlindungan. Kalau kita menglafalkan Paritta dengan penuh ketenangan dan konsentrasi serta memancarkan getaran getaran cinta kasih, ke segala penjuru demi kebahagiaan semua makhluk. Maka dalam hal ini, kita telah membuat suatu perlindungan yang sejati, baik melalui pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani. Pembacaan Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, akan bisa meredakan dan menghilangkan sifat negatif dari diri kita, misalnya : membenci, serakah maupun irihati.

    Dan semua isi dari Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, hanya berpondasikan pada cinta kasih dan kasih sayang, untuk semua makhluk hidup, tanpa diboncengi oleh unsur diskriminasi. Dengan berhasilnya kita mengakhiri sifat-sifat jahat, maka kehidupan ini akan senantiasa dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan baik.Terhindari dari perbuatan perbuatan jahat, sama artinya, hidup dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hidup yang dipenuhi oleh kedamaian dan ketentraman, akan mencegah tercetusnya karma karma jelek.

  3. Keterangan pikiran melalui MEDITASI (Pengkonsentras-an / Pengontrolan Pikiran).

    Umumnya, disetiap kali kebhaktian di Vihara/Cetiya, setelah mengumamdangkan Paritta Paritta /Mantram Mantram suci, akan dilanjutkan dengan pelaksanaan "Metta Bhavana : Meditasi Cinta Kasih . Ditahapan ini, kita dilatih untuk mengkonsentrasikan pikiran pada hal hal yang baik, setelah itu dipancarkan kembali ke segala penjuru, baik kepada kedua orang tua yang dicintai, saudara/ri sedharma, semua manusia, dan semua makhluk (hewan), baik yang terlihat maupun tidak terlihat (misalnya : setan), dengan hanya satu doa dan pengharapan yang tulus ""Semoga semua makhluk hidup, hendaknya senantiasa hidup di dalam kedamaian,ketentraman dan kebahagiaan " Adanya kemampuan untuk mengkonsentrasikan pikiran ke hal-hal yang baik, merupakan kunci utama bagi diri kita agar terbebaskan dari lingkaran derita. Orang yang memiliki ketenangan pikiran, tidak akan pernah merasa kecewa, frustasi, stress ataupun minder.
    Sang Buddha menyabdakan bahwa pikiran sangatlah dominan, menentukan bahagia tidaknya kehidupan kita ini. Di dalam kitab suci Dhammapada Citta Vagga III : 39, Sang Buddha bersabda : " Orang yang pikirannnya teguh, yang tiada tergoyahkan oleh nafsunya, yang tidak terangsang oleh kebencian, akan dapat mengatasi segala macam kejahatan dan kebaikan. Orang yang ulet dan sadar seperti itu, tiada lagi ketakutan yang akan menimpanya……." Itulah manfaat besar dari pelaksanaan meditasi yang benar dan baik, baik di Vihara maupun Cetiya. Manfaat-manfaat lain atas kemampuan meditasi, sebenarnya cukup banyak. Tetapi yang terpenting adalah orang yang mampu bermeditasi, tidak akan bisa di pengaruhi oleh orang-orang bodoh (hidup selalu diliputi oleh penderitaan karena ketidak-mampuan, membedakan mana yang baik dan salah), untuk mau melakukan perbuatan perbuatan tercela. Hidupnya akan senantiasa stabil dan tak tergoncangkan, baik ditimpa kemalangan maupun meraih kebahagiaan.

  4. Bertambah kebijaksanaan setelah DHARMASAVANA (mendengarkan khotbah Dharma)

    Kebhaktian yang lengkap adalah selain adanya pembacaan Paritta Paritta atau Mantram Mantram suci dan meditasi, juga diisi dengan dharmasavana (Pembabaran Dharma atau penguraian ajaran ajaran luhur Sang Buddha). Ada empat manfaat yang bisa dipetik, disaat mendengarkan kotbah dharma. Pertama disebut dengan Assutam Sunati.

    Dapat mendengar dharma, yang sebelumnya belum tahu. Disini, terbukalah mata bathin kita bahwa yang dimaksud dengan dharma (kebenaran) adalah ini dan Adharma (bukan kebenaran)adalah itu. Dengan dimilikinya pengetahuan akan inilah kebenaran dan itulah ketidakbenaran, maka peluang untuk terjerumus ke liang dukkha (derita), persentasenya adalah nol koma nol nol nol persen. Disaat ini, kita sudah tahu, mana yang seharusnya di hindari dan mana yang seharusnya dilaksanakan, apa yang di maksud dengan perbuatan baik dan jahat, serta mana yang salah dan mana yang benar.

    Kedua disebut denganSuttam Pariyodapati. Setelah mengerti dharma (kebenaran) yang telah didengar maka kesalahpahaman yang terjadi selama ini, akan tersirnakan segera. Sebelumnya, mungkin saja kita beranggapan bahwa ke Vihara/Cetiya, tiadalah manfaatnya sama sekali, tetapi setelah dimilikinya pengertian benar ini, maka anggapan atau pandangan salah tersebut, sirnalah sudah. Dalam hal ini, dengan dimilikinya pengertian benar ini, juga akan memotivasi diri kita agar semakin giat dan ulet, di dalam penimbunan penimbunankebajikan.

    Ketiga disebut dengan Kankham vihanati.Di tahapan ini, keragu-raguan akan kebenaran Dharma, telah berhasil disingkirkan. Dalam hal ini, belenggu bathin (keragu-raguan) akan kebenaran Dharma, sudah terhapuskan sehingga setiap pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani, telah terfilter dengan baik. Kita tak akan pernah kecewa, sedih ataupun sakit hati, seandainya dicela ataupun tidak di hargai. Mengapa..? Karena kita telah menyadari dengan baik bahwa kondisi apapun yg terjadi, tidaklah terlepas dari pada karma, yang sudah seharusnya diterima.

    Keempat disebut dengan Ditthim Ujum Karoti. Ditahapan ini, kita telah memiliki pandangan hidup yang benar. Dengan dimilikinya pandangan hidup yang benar, maka kita akan mampu melihat segala sesuatu, atas dasar apa adanya. Dan disaat memutuskan suatu prihal, tanpa lagi diboncengi oleh unsur kemelekatan. Dalam hal ini, kebijaksanaan sudah mulai meningkat. Hidup pun akan semakin semangat dan tidak akan pernah terpengaruh oleh hasutan maupun gosipan. Kelima disebut dengan Cittamassa Pasidati. Di tahapan ini, pikiran sudah terbersihkan dari kekotoran bathin. Kalau pikiran sudah terkontrol dengan baik maka segala tindakan maupun perbuatannya, tidak akan pernah lagi, menimbulkan penyesalan maupun penderitaan, bagi makhluk manapun yang ada di sekitarnya.

    Sang Buddha menyabdakan : " Orang yang dapat menghayati Dharma, hidupnya berbahagia, pikirannya selalu tenang dan seimbang. Seperti halnya orang bijaksana, yang selalu gembira dalam menghayati Dharma, yang di babarkan oleh para Ariya".

  5. Bebas dari kemelekatan (keserakahan) melalui DANA PARAMITA.

    Didalam kitab suci Dhammapada Tanha Vagga XXIV : 338, Sang Buddha menyabdakan : "Sebatang pohon yang telah di tebang, masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi, apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak di hancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan maka penderitaan, akan tumbuh berulang kali". Dengan adanya pelaksanaan Dana Paramita (beramal) di Vihara/Cetiya, kita diajarkan untuk melepaskan kemelekatan, yang terdapat pada diri kita. Kemelekatan akan keduniawian ini jika sedikit demi sedikit dilatih atau dikikis, melalui pelaksanaan dana paramita maka akhirnya, kehidupan ini akan terbebas dari belenggu keserakahan. Adanya kemampuan untuk mau berdana dengan benar, tanpa paksaan serta ikhlas, secara tidak langsung, kita sudah menekan lobha (keserakahan) yang selama ini, membelenggu bathin kita. Orang yang telah terlepas dari belenggu (kemelekatan) duniawi, akan mampu (bisa) menikmati kehidupan ini dengan penuh kebahagiaan.

Kesimpulan :

Dengan demikian, secara garis besarnya, terdapat lima manfaat yang bisa raih, jika kita rutin di dalam pelaksanaan kebhaktian. Manfaat manfaat tersebut adalah:

  1. Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan namaskara. Ditahapan ini, kita diajarkan untuk senantiasa rendah hati, tidak angkuh/sombong, serta memiliki keluhuran budi. Orang yang tidak sombong/angkuh akan selalu di cintai dan di hargai, di manapun dia berada. Hidupnya akan selalu terlindung, akibat dari kemuliaan sifat yang dimiliki.

  2. Mendapatkan perlindungan sejati, melalui penglafalan Paritta Paritta/Mantram Mantram suci.

  3. Pikiran menjadi tenang dan terkontrol dengan baik melalui pelaksanaan meditasi. Pikiran yang terkontrol dengan baik, tidak akan bisa tercemari oleh niat niat jahat. Terbebaskan dari niat niat jahat, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

  4. Kebijaksanaan akan meningkat, melalui rutinnya mendengar dharma (dhammasavana). Orang bijaksana di dalam tutur kata maupun tindakannya, tidaklah akan menimbulkan kerugian maupun penderitaan, bagi siapapun juga. Dia bagaikan pelita yang menerangi kegelapan.

  5. Bebas dari kemelekatan, melalui pelaksanaan dana paramita. Orang yg bebas dari unsur kemelekatan, tidak akan frustasi atau kecewa, dikala tertimpah musibah maupun kemalangan. Kemelekatan akan apapun juga, itulah pencetus timbulnya dukkha (derita) yang sesungguhnya.

Semoga dengan adanya penjelasan yang singkat ini, keyakinan kita untuk mau melaksanakan kebhaktian, akan semakin teguh dan baik. Kebhaktian bukan lagi didasarkan pada pamrih akan ini dan itu, atau karena takut diberikan sanksi oleh guru agamanya (bagi murid murid sekolah). Kebhaktian dalam hal ini, sudah merupakan sesuatu yg disenangi dan dijadikan prioritas utama. "SEMOGA DENGAN DIKETAHUINYA MANFAAT-MANFAAT KEBHAKTIAN DAN BERKAHNYA INI, SEMBOYAN LIBUR SEKOLAH, LIBUR PULA KEBHAKTIAN, ATAU JIKA ADA WAKTU, BARULAH KEBHAKTIAN, SUDAH TIDAK DIJUMPAI LAGI ".

Ingatlah selalu bahwa tanpa adanya penanaman bibit kebajikan maka yang namanya kebahagiaan, tidaklah akan pernah dirasakan! "Sabbe satta sabbadukkha pamuccantu-Sabbe satta bhavantu sukhitata : Semoga semua makhluk terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia…. Sa-dhu…..Sa-dhu…..Sa-dhu…..

Penyebab Kematian




Penyebab Kematian

Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera



Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia,
sungguh sulit kehidupan manusia,
sungguh sulit dapat mendengarkan Ajaran Benar,
begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.
(Dhammapada XIV, 4)


Sekarang tiba saatnya menerangkan tentang hakekat kematian. Dalam suatu acara peringatan kematian, hendaknya kita menyadari bahwa almarhum memang sudah wafat, namun kita dapat menggunakan kesempatan tersebut untuk merenungkan Dhamma dengan baik. Ajaran Sang Buddha menyatakan bahwa kematian itu bisa datang kepada siapa pun juga. Apakah dia orang muda, apakah dia orang tua, apakah dia laki-laki, apakah dia perempuan, apakah dia orang kaya, apakah dia orang miskin, semuanya pasti mengalami kematian. Tidak ada orang yang terbebas dari kematian. Begitu pula dengan diri kita semua. Kita pun juga tidak bisa terbebas dari kematian. Kita sekarang hanya menunggu waktu. Kalau hari ini upacara 5 tahun wafatnya almarhum, kapan pula teman-teman datang untuk peringatan 3 hari wafatnya saya sendiri, 7 hari wafat saya sendiri? Kita masing-masing boleh berpikir tentang itu, karena tidak ada di antara kita yang terlewatkan dari kematian. Maka, kalau ada upacara peringatan kematian, kita harus cepat datang. Mari datang beramai-ramai. Kalau ada upacara membaca Paritta, datanglah beramai-ramai. Kita membaca Paritta bersama-sama. Mengapa? Karena kalau nanti jatuh temponya kita mati, kita tidak bisa membaca Paritta sendiri. Tidak bisa mengadakan peringatan 3 Hari kita sendiri. Tidak bisa mengadakan peringatan 7 hari sendiri. Jadi kita membutuhkan orang-orang lain. Kalau kita sering berkumpul begini, kita bisa bertemu dengan teman-teman lain.

Dalam Agama Buddha ada beberapa penyebab kematian. Agar lebih mudah dimengerti maka akan diberikan contoh dengan menggunakan lilin. Lilin ini punya api dan apinya bisa mati karena berbagai kondisi. Kalau api lilin ini kita ibaratkan sebagai kehidupan, maka penyebab pertama lilin itu mati adalah karena lilin atau bahan bakarnya habis. Jadi kalau lilin ini dipasang terus, pada mulanya masih tinggi, lalu tinggal separuh, sepertiga, seperempat, akhirnya habis. Lalu matilah lilin itu. Ketika lilinnya mati, kadang-kadang sumbunya masih ada. Masih tersisa sumbu sedikit. Di dalam kehidupan, hal ini menunjukkan kehidupan bahwa orang yang meninggal karena 'jatahnya' sebagai manusia sudah habis, walaupun umurnya masih di bawah usia rata-rata pada masa itu. Kita semua lahir sebagai manusia karena kita ini punya timbunan karma baik. Telah dinyatakan oleh Sang Buddha bahwa kemungkinan seseorang terlahir sebagai manusia dalam satu siklus kehidupannya adalah seperti debu tanah di ujung kuku Beliau dibandingkan debu yang ada di muka bumi ini. Sangat sedikit. Sangat sulit. Namun, kenapakah jumlah manusia selalu bertambah? Pertambahan jumlah ini dimungkinkan karena manusia yang meninggal dapat terlahir di surga, neraka, binatang, alam setan dlsb. Sebaliknya para makhluk dari alam yang lain pun ada kemungkinan terlahir sebagai manusia. Jadi, sudahkah kita menghitung para dewa atau malaikat yang meninggal dan lahir sebagai manusia?

Oleh karena itu, umat Buddha tidak mempermasalahkan lahir di surga atau lahir di neraka. Apalagi lahir di surga amatlah gampang, karena surga menawarkan 26 pilihan tempat tinggal. Tinggal pilih satu, langsung siap berangkat walaupun malam ini juga. Salah satu sarananya adalah: menjadi umat Buddha. Dengan modal keyakinan kita akan bisa terlahir di alam surga, di salah satu dari 26 alam surga. Yang susah justru terlahir sebagai manusia! Di dalam Dhammapada dikatakan, lahir sebagai manusia itu susah. Kesulitan ini karena kemungkinannya seperti debu di ujung kuku, dibandingkan debu yang ada di seluruh dunia. Karena itu, kalau sekarang kita sudah lahir sebagai manusia, apakah yang harus kita kerjakan? Tugas apa yang harus kita kerjakan? Itu yang harus kita renungkan. Sekarang marilah kita kembali pada proses kematian itu sendiri.

Jadi, penyebab kematian yang pertama adalah 'habis jatahnya', 'habis bahan bakarnya' sebagai manusia. Karena besarnya karma baik kitalah maka kita bisa lahir sebagai manusia, dan kita mempunyai batas waktunya - 'jatah'. ada yang 'jatahnya' menjadi manusia hanya tiga bulan. Jadi dikandung 3 bulan mati dia. Ada yang jatahnya 5 tahun. Begitu umur 5 tahun, dia mati. Maka jangan tanyakan: 'Kenapa ia meninggal pada usia 5 tahun?' 'Jatahnya' memang cuma 5 tahun. Ada yang menanyakan: 'Apakah kalau mati muda itu pertanda karma buruk?' Belum tentu! 'Apakah kalau mati tua itu pertanda karma baik?' Belum tentu! Semua itu tergantung di alam mana dia akan terlahir kembali. Bila dia mati umur 3 tahun tetapi setelah mati terlahir di surga, itu berarti matinya dapat memetik buah karma baik. Daripada susah-susah menjadi manusia, pusing-pusing memikirkan segala macam, lebih baik mati kemudian lahir di surga, happy-happy. Walaupun umur 90 tahun baru meninggal, bila lahirnya kemudian di alam neraka .... inilah buah karma buruk! Lebih enak di dunia, biar tua tetapi happy-happy. Bisa jalan ke sana sini. Daripada lahir di alam neraka yang merupakan alam menderita. Jadi, kematian itu sendiri sebetulnya tidak harus menunjukkan dia itu melakukan karma buruk atau tanam karma buruk. Belum tentu! Bisa baik, bisa buruk tergantung di mana dia terlahirkan kembali kemudian. Tapi yang jelas, Orang yang mati umur 3 tahun, 5 tahun, atau 15 tahun, pokonya yang sering kita anggap mati muda, kematiannya disebabkan karena memang 'jatahnya' sebagai manusia sudah habis.

Sekarang penyebab kedua. Kematian itu seperti lilin ini, tetapi sumbunya tidak sampai bawah. Sumbu hanya separo, atau sumbunya hanya seperempat. Jadi lilinnya hidup sampai sumbunya habis. Apinya lalu mati, walaupun lilinya masih panjang. Ini menunjukkan bahwa umur badan manusianya sudah habis. Umur rata-ratanya sudah selesai, umur jasmaninya sudah sampai. Misalnya, berapa usia jasmani rata-rata yang dapat kita miliki sekarang? Kalau ketahanan jasmani rata-rata adalah 50 tahun, maka begitu sampai usia 50 tahun, matilah dia. Walaupun jatahnya sebagai manusia masih ada, namun dia mati. Setelah maninggal, mungkin dia bisa terlahir sebagai manusia lagi. Misalnya, mestinya jatahnya sampai berusia 100 tahun, tetapi baru 50 tahun dia sudah mati. Maka mungkin dia akan terlahir lagi sebagai manusia, melanjutkan sisanya yang 50 tahun lagi. Jatahnya dihabiskan, kalau sempat. Tetapi kalau tidak, yang 50 tahun sebagai manusia ini ditunda. Mungkin nanti di dalam sekian periode kehidupan baru dia ambil sisa jatah kehidupannya sebagai manusia ini. Tetapi pokoknya dia masih memiliki sisa. Sisa 'jatah' sebagai manusia. Kita mungkin bertanya: 'Umur berapa ketika meninggal?' 'Enam puluh'. 'Sudah pantas. Sudah cukup merasakan kesenangan dunia.' Namun bukan berarti bahwa seseorang yang sudah berumur 60 tahun harus mati. Semua makhluk berproses sesuai dengan karmanya sendiri-sendiri. Kalau yang pertama tadi lilinnya habis, jatah manusianya habis, yang kedua ini sumbunya habis. Kekuatan jasmaninya sudah habis walaupun jatah hidupnya sebagai manusia masih cukup.

Penyebab yang ketiga adalah lilinnya habis berbareng dengan habisnya sumbu. Hal ini menunjuk pada kematian seseorang karena habisnya kekuatan jasmani bersamaan dengan habisnya karma yang mendukung kehidupannya sebagai manusia. Seperti lilin yang ketika dipakai, panjang sumbu dan jumlah lilin itu pas sama. Begitu api sampai di bawah, dia mati. Sumbunya pun tidak mempunyai sisa lagi. Lilinnya juga habis. Minyaknya sudah habis. Inilah orang yang mati lengkap. Memang masa hidupnya hanya sedemikian itu, usia manusianya juga hanya sampai di situ. Jadi, misalnya sekarang usia hidup manusia rata-rata 50 tahun dan dia jatah hidupnya pun hanya 50 tahun. Jadi, ketika meninggal, selesailah sudah semuanya.

Penyebab keempat. Lilin masih panjang, sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya mati terkena kipas angin. Inilah kematian karena kecelakaan. Bila usia kehidupan manusia rata-rata tadi 60 tahun, dia meninggal dalam usia 30 tahun. Mengapa? Mungkin ia meminum pembasmi serangga. Dia berkeputusan menghabisi umurnya sendiri. Atau orang yang mati kecelakaan. Namun, tidak semua orang yang meninggal karena kecelakaan itu adalah kematian yang seperti api lilin mati tertiup angin. Bisa juga karena habis karmanya sebagai manusia. Walaupun sumbunya masih panjang tetapi lilinnya sudah habis. Kondisi itu juga bisa menyebabkan seseorang mati kecelakaan. Tetapi yang jelas, ini adalah salah satu cara kematian karena hal-hal diluar dugaan.

Begitulah empat penyebab kematian. Tadi telah disebutkan bahwa Sang Buddha mengambil debu dengan kuku untuk memberikan gambaran sungguh sulit satu makhluk dapat terlahir sebagai manusia. Sekarang kenyataannya, kita sudah terlahir sebagai manusia. Pada baris kedua petikan ayat Dhammapada di atas disebutkan bahwa hidup sebagai manusia juga sulit. Terlahir sebagai manusia sulit, dan hidup sebagai menusia pun sulit. Namun justru kesulitan hidup inilah yang membuat hidup ada seninya. Sesungguhnya, pikiran kita sendirilah yang membuat kesulitan. Benarkah? Jelas benar! Andaikata seseorang yang mengalami sakit gigi. Memang sakit. Apabila ia hendak bersenang-senang, maka sakit gigi sungguh merupakan gangguan yang besar. Namun, bila ia tidak begitu senang dengan acara yang hendak diikuti pada hari itu, sakit gigi akan menjadi alasan yang tepat sekali untuk dia agar tetap tinggal di rumah sambil nonton televisi. Karena itu pikiran memainkan peranan besar dalam menentukan sulit dan tidak sulitnya kehidupan ini.

Baris ketiga pada syair di atas: mendengar Dhamma pun juga sulit. Buktinya, umat Buddha di setiap kota tentu tidak sedikit jumlahnya. Tetapi kenapa yang hadir kebaktian rutin hanya sebagian di antara mereka? Inilah bukti yang menunjukkan bahwa mendengar Dhamma memang tidak mudah. Kemudian, dari sejumlah umat yang hadir dan mendengarkan Dhamma ini, tidak banyak yang dapat mengerti uraian Dhamma ini dengan baik. Mungkin para umat ikut tertawa, senyum dan bereaksi spontan terhadap uraian Dhamma yang diberikan, tetapi bila telah selesai ceramah, mungkin tidak banyak butir-butir Dhamma yang masih dapat diingatnya.

Sekarang kita sudah terlahir sebagai manusia, sudah hidup sebagai manusia, dan sudah mendengarkan Dhamma dengan baik. Maka kita hendaknya betul-betul dapat menyerap Dhamma ini dengan sebaik-baiknya. Ibarat lidah yang dapat merasakan rasa sayur walaupun hanya sedikit sayur yang melewati bibir kita. Memang, walaupun baru sekali kita bertemu Dhamma, kita harus dapat merasakan enaknya Dhamma. Oleh karena itu, sebagai seorang umat Buddha, setelah kita lahir sebagai manusia, hidup sebagai manusia, dan mendengarkan Dhamma dengan baik, marilah kita mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Setelah mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh, praktekkanlah Dhamma dengan baik dalam kehidupan kita sehari-hari.

Praktek Dhamma yang paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah menjalankan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis adalah latihan untuk tidak melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan dan mabuk-mabukan. Dengan melatih melaksanakan Pancasila, kita akan memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan ini. Kebahagiaan yang muncul karena kita tidak melakukan segala perbuatan yang tidak menyenangkan makhluk lain. Kita terbebas dari kesalahan. Selain itu, kita pun akan memperoleh kebahagiaan setelah kematian, terlahir di salah satu dari 26 alam surga. Bahkan apabila dikembangkan lebih tinggi lagi, kita pun bisa mencapai Nibbana.

Oleh karena itu, semoga kita bisa menyadari bahwa untuk dapat terlahir sebagai manusia itu sulit. Jangan di sia-siakan. Selagi masih menjadi manusia cepat-cepatlah berbuat baik, minimal Pancasila Buddhis.

Jumat, 03 September 2010

Berbagai Yayasan Buddhist

Dharma Mangala, Buletin Maya Indonesia

Pergilah, oh… para bhikkhu, menyebarlah demi manfaat orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi cinta kasih pada dunia ini, demi kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Hendaklah kalian tidak pergi berduaan ke tempat yang sama. Ajarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya dan indah pada akhirnya…
Redaksi:
Chuang
Gunavijayo
Holiwati
Junarto M Ifah, ST, MSc
Khema Giri Mitto, SE
Liao King Hian, ST
Meriyana Lim
Surya Wijaya, Ssi
Penata Artistik:
Khema Giri Mitto, SE
Alamat redaksi:
dharmamangala@yahoo.com
Alamat group:
dharma_mangala@yahoogroups.com

Dharma Prabha, majalah buddhis triwulan nasional
Alamat redaksi:
Vihara Buddha Prabha
Jl. Brigjend. Katamso No.3
Yogyakarta 55121
telp. +6281802726086http://www.dharmaprabha.or.id

Dharma Prabha pertama kali didirikan pada tanggal 31 Juli 1987 (tepatnya pukul 22.06 WIB) melalui penerbitan Buletin Dharma Prabha dengan misi memperkokoh dan memperluas wawasan Buddhis. Dharma Prabha adalah badan subotonom dari Generasi Muda Cetiya Buddha Prabha (GMCBP) dan juga tergabung dalam Ikatan Pengelola Media Komunikasi Buddhis Indonesia (IPMKBI).

Sesuai dengan misi pendirian Dharma Prabha, majalah dan buku yang diterbitkan dibagikan secara gratis. Dengan komitmen kuat untuk menyebarkan Buddha Dharma, berbagai perbaikan telah dilakukan dan melalui kemajuan yang dicapai telah terjadi peningkatan jumlah pembaca dan permintaan terhadap majalah Dharma Prabha. Majalah Dharma Prabha memiliki pembaca yang cukup banyak tersebar di wilayah D.I. Yogyakarta. Tidak hanya mencakup pembaca lokal saja, tetapi pembacanya juga tersebar hampir di seluruh nusantara, di antaranya Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat, bahkan luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Dengan meningkatnya jumlah pembaca, majalah tersebut dicetak minimal 2000 eksemplar.

Dasa Paramita
Dasa Paramita merupakan suatu Wadah atau tempat berkumpulnya anak-anak Buddhis dari beberapa pengurus Cetiya/Vihara yang ada di Tangerang, tujuan di bentuknya organisasi ini adalah untuk mengembangkan Buddha Dhamma di kalangan anak sekolah minggu dengan cara menghimpun penceramah sekaligus pembina Sekolah Minggu Buddhis di beberapa Cetiya/Vihara, membina serta meningkatkan pengetahuan Buddha Dhamma di kalangan anak-anak Sekolah Minggu, mempererat tali persaudaraan antar anak-anak Sekolah Minggu, pembimbing serta penceramah sekolah minggu Buddhis di Tangerang. Dasa Paramita di bentuk pada tanggal 18 April 1999 di Cetiya Araya Dhamma yang sekarang bernama Vihara Araya Dhamma. Dasa Paramita terbentuk dari gabungan (koalisi) antara Forum Komunikasi Penceramah Sekolah Minggu (FKPS) dengan Tim Gabungan Penceramah Sekolah Minggu (TGPSM), yang memiliki kesamaan Visi Dan Misi diantara kedua organisasi tersebut.SEKERTARIAT: JL. Raya Kp. Melayu RT01/08 No.15, Kel. Neglasari, Kec. Neglasari, Kota Tangerang-Banten 15129, Tel (021-93245646), (021-93245508) E-mail : Dasaparamita@telkom.net

Dukungan dana dapat melalui rekening BCA KCU Tangerang ACC.1080453287 a/n LUKIYAT.


Dawai
Alamat redaksi:Vihara Dhammadipa
Jl. Pandegiling 260/I
Surabaya
telp. +62.31.532.0688
fax. +62.31.532.0788
email. Redaksi_Dawai@yahoo.com
http://www.dhammadipa.com/

Dawai merupakan majalah Buddhis terbitan Vihara Dhammadipa Surabaya, yang diterbitkan setiap 3 bulan sekali. Sempat mengalami beberapa kali metamorfosis dalam mencari bentuk tampilan yang sesuai, kini Dawai hadir dalam format yang lebih baru.

Isinya berkisar terutama tentang Buddhisme Theravada termasuk meditasi Buddhis, artikel umum yang memberikan fakta bahwa Dhamma memang universal, dan selebihnya tentang aktivitas muda-mudi Buddhis Dhammadipa maupun kegiatan sosial Buddhis lainnya di Surabaya.

Bhagavant.com
Di situs Bhagavant.com ini kita dapat menemukan berbagai informasi mengenai ajaran dasar, berita mingguan, dan artikel. Kita juga bisa mendownload berbagai wallpaper, flash animation, dan lainnya yang bernuansakan Buddhis.http://www.bhagavant.comTerima Kasih kepada Sumita dan Dewi Astuti

BKPB
BKPB adalah Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis. BPKB memiliki visi untuk mewujudkan Sekolah Buddhis menjadi favorit dalam 3 tahun (tahun 2010) dan juga menjadi pilihan utama masyarakat dalam 10 tahun (tahun 2017). Misinya adalah mewujudkan Sekolah Buddhis menjadi sekolah beretika secara Buddhis dan eningkatkan kepercayaan masyarakat Buddhis terhadap Sekolah Buddhis.
http://www.bpkb.org

Dian Dharma
(VIHARA EKAYANA GRHA)
Jl. Mangga II No.8, Duri Kepa
(Tanjung Duren Barat - Greenville)
Jakarta Barat 11510
Telp. (021) 5640271
HP. 0852-15199777
Fax. (021) 5687923
e-mail: penerbit.diandharma@gmail.com
http://www.diandharma.com

Silahkan hubungi Dian Dharma untuk mendapatkan buku/CD/VCD yang akan dikirim kerumah anda. Untuk informasi terbarunya silahkan lihat websitenya atau telp ke penerbit Dian Dharma.

Apabila anda ingin memperbanyak buku/melakukan pelimpahan jasa dapat menghubungi alamat dan telp diatas.

Dana anda dapat disalurkan ke rekening:
Bank Central Asia KCP Cideng Barat
No. Rek. 3973019828
a/n Yayasan Triyanavardhana Indonesia


Indonesia Tipitaka Center
Indonesia Tipitaka Center memiliki visi untuk menyebarluaskan dan melestarikan ajaran Sang Buddha. Untuk mencapai visi tersebut, misi yang dilakukan adalah dengan menerbitkan terjemahan TIPITAKA dalam bahasa Indonesia.http://www.indonesiatipitaka.net

Program Kerja ITC:

1. Membentuk tim yang bekerja secara profesional untuk menerjemahkan TIPITAKA dari bahasa Inggris kedalam bahasa Indonesia:
  • Tahap I : Vinayapitaka
  • Tahap II : Suttapitaka
  • Tahap III : Abdhidhammapitaka

2. Menerbitkan dan mensirkulasikan hasil terjemahan.

3. Mengadakan kegiatan penghimpunan dana sebagai pendukung proyek penerjemahan.

4. Mengirim editor/penerjemah Tipitaka yang berniat mengabdi pada Buddha Dhamma ke luar negeri untuk belajar bahasa Pali.