Vihara Dhammamangala berlokasi di Jln. Lingkar Kota R.T. 30/ R.W. X Kelurahan Mulia Baru Kecamatan Delta Pawan Ketapang - Kalimantan Barat Indonesia
Kamis, 23 Desember 2010
Senin, 20 Desember 2010
Selasa, 14 Desember 2010
Filsafat Ilmu Pengetahuannya Buddhisme
FILSAFAT ILMU PENGETAHUANNYA
BUDDHISME
Oleh :
GERALD DU PRE
Psychologi, atau Ilmu Jiwa, itu tidak hanya merupakan studi khusus mengenai bidang pengetahuan tertentu saja, tetapi juga membicarakan beberapa hal tentang sifat pengetahuan itu sendiri. Sama seperti itu, Filsafat Mahayana itu tidak hanya merupakan studi khusus mengenai filsafatnya Buddhisme saja, tetapi juga membicarakan filsafat pengetahuan secara umum.
Saya akan membahas Filsafat Pengetahuan (= Philosophy of Knowledge)-nya Buddhisme disini, khususnya mengenai Madhyamika atau Ajaran Jalan Tengah (= Middle Doctrine), dan akan menyampaikan argumentasi saya bahwa itu didalam realitasnya merupakan Filsafat Ilmu Pengetahuan (= Philosophy of Science) yang bersifat revolusioner.
Telah diketahui dengan baik bahwa Buddhisme itu mengenal kasunyataan empiris, – yaitu yang dinamai samvrti-satya, atau kasunyataan relative dari Aliran Madhyamika. Seperti para sarjana, umat Buddha juga menghargai penggunaan secara ketat logika dan definisi yang tepat dari istilah-istilah. Didalam Buddhisme, sama seperti pada Ilmu Pengetahuan, theori itu didasarkan pada observasi dan praktek. Umat Buddha, seperti para sarjana, juga menentang dogma, dan tidak memiliki naskah-naskah suci yang dihormati seperti terhadap authoritas-authoritas yang paling tinggi. Mereka mempercayai kebebasan bertanya dan toleransi, serta secara terus menerus mengingatkan, seperti sikap Newton, untuk menentang metaphysika.
Tetapi, saya dapat mendengar bantahan-bantahan, baik dari umat Buddha, maupun dari para sarjana. Lebih penting dari semuanya, adalah bahwa filsafat Madhyamika itu meng-claim bahwa kasunyataan yang relative itu didasarkan pada sunyata, suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan paramartha-satya atau kasunyataan yang paling tinggi (= ultimate truth), yang dikatakan sebagai diluar definisi. Jadi, tampaknya, Buddhisme itu berpegang teguh pada pandangan yang religious, yaitu berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu membicarakan pengetahuan tentang dunia material, tetapi Buddhisme juga berpendapat bahwa dunia ini didasarkan pada sesuatu yang bersifat immaterial, tidak bersifat material -, yang keadaannya lebih riil dari keadaan riilnya dunia yang nampak ini.
Memang banyak umat Buddha yang mengatakan bahwa sunyata itu mewakili kasunyataan spiritual (= spiritual truth), yang keadaannya sangat berbeda dari kasunyataan material-nya ilmu pengetahuan. Terhadap pandangan yang demikian ini, banyak para sarjana yang menjawab bahwa filsafat Madhyamika, dengan meng-claim adanya eksistensi kasunyataan yang paling tinggi, tetapi menolak menerangkan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kasunyataan yang paling tinggi itu, berarti mengaburkan keseluruhan pengertian tentang pengetahuan, dan berpendapat bahwa filsafat mereka itu paling tidak bernilai, dan bahkan bersifat destruktif.
Itu di mata para sarjana jelas nampak keadaannya seperti Agama Kristen yang berpakaian baju Dunia Timur. Di Dunia Barat, para ahli theologi Kristen yang hidup di Abad Pertengahan percaya bahwa dunia spiritual, dunia surga, itu tidak dapat dilihat, namun keadaannya lebih riil dari pada dunia yang dapat kita lihat ini. Mereka mengecilkan arti pengalaman keindriaan, dengan mengatakan bahwa pengalaman keindriaan itu merupakan sumber illusi, atau kepalsuan, dan kesalahan. Kemudian, para filsuf metaphysis berpegang teguh pada hakekat pandangan yang sama seperti tersebut dimuka tadi. Para ahli filsafat pengetahuan dari Dunia Barat setuju terhadap pandangan bahwa salah satu innovasi, atau pembaharuan, dari ilmu pengetahuan, yang besar, adalah ide yang mengatakan bahwa pengalaman keindriaan, – suatu pengalaman yang diperoleh ketika organ-organ indria berkontak dengan object -, itu menjadi basis pengetahuan. Spekulasi atau dogma tentang dunia-dunia, atau alam-alam, diluar pengalaman keindiriaan, itu bersifat metaphysis, yang dapat benar, tetapi juga dapat tidak benar.
Buddhisme itu, saya yakini, tidak memajukan, atau mendukung pandangan tentang kasunyataan, dari Agama Kristen, yang demikian itu. Di Tanah Air Pangeran Siddhartha, yaitu India, disitu doktrin-doktrin religi-nya adalah apa yang sekarang dinamai Hinduisme. Hinduisme mempunyai filsafat pengetahuan yang sangat mirip dengan pandangan tersebut diatas, yang lalu dirumuskan oleh Agama Kristen. Sama seperti pandangan Agama Kristen, Hinduisme percaya bahwa pengalaman keindriaan itu bersifat illusi, bersifat palsu, dan dipercayai pula bahwa yang riil, adalah Ke-Aku-an yang tidak tampak (= invisible Self), yang berada dibelakang dunia yang tampak ini.
Semua Umat Buddha mengetahui betapa gigihnya Pangeran Siddhartha menolak pandangan pengetahuan dari Hinduisme, dengan mengemukakan doktrin dasar dari Buddhisme, yang dinamai Anatta. Sang Buddha menolak dunia metaphysis atau dunia religious-nya Hinduisme, yang diterangkan sebagai diluar pengalaman keindriaan; dan yang berpendapat bahwa dunia tersebut lebih rill dari pengalaman keindriaan. Sang Buddha telah mengemukakan doktrinnya tentang Sunyata, atau Kekosongan (= Emptiness), sebagai jawaban yang radikal terhadap pandangan Hinduisme, dan beberapa jawaban yang radikal terhadap pandangan Hinduisme, dan beberapa abad kemudian para filsuf Madhyamika telah mempertahankan pandangan tersebut sebagai yang sama dengan istilah Tathata. 1. Jadi, Pangeran Siddhartha, dan kemudian para filsuf Madhyamika telah mengemukakan secara berulang-ulang bahwa sunyata itu tidak merupakan dunia yang bersifat metaphysis, tidak mysterious, atau kabur, dan bukan merupakan sesuatu pengertian atau konsep yang sama sekali abstrak. Jadi, itu tidak bersifat spiritual, didalam arti kata yang metaphysis atau abstrak.
“Seorang yang telah memperoleh Kemenangan atas ketidaktahuan, pernah mengatakan bahwa kekosongan itu adalah mirip sesuatu penghapus semua pandangan-pandangan; tetapi orang-orang yang telah memperoleh kekosongan itu, lalu memiliki pandangan-terang, yang tak dapat dilenyapkan dari alam fikirannya.” 2.
Sunyata itu diterangkan sebagai keadaan tidak terdapatnya segala sesuatu, tetapi juga bukan keadaan yang hampa dari sesuatu. Sunyata itu bukan suatu eternalisme, atau keadaan yang abadi, namun juga bukan merupakan essensi yang selalu ada, yang terdapat dibelakang semua phenomena, atau gejala-gejala, dan pula bukan suatu nihilisme. Sunyata, berarti kekosongan (= emptiness), dan diterangkan bersifat kosong, suatu kekosongan yang sempurna. Apa yang dapat diterangkan lebih lanjut mengenai keadaan yang kosong itu?
Saya percaya bahwa bagi umat Buddha, terutama dari aliran Madyamika, filsafat pengetahuan (= philosophy of knowledge) itu adalah filsafat ilmu pengetahuan (= philosophy of science), karena saya percaya bahwa sunyata itu menunjuk kepada pengalaman, suatu pengalaman aktual itu sendiri – (= actual experience itself).
Sunyata itu berkeadaan rill, merupakan keadaan tidak terdapatnya sesuatu, namun bukan keadaan yang hampa dari sesuatu; berkeadaan jelas dan dapat dihayati secara langsung, namun tidak mungkin dapat kita tangkap pengertiannya sepenuhnya dengan fikiran kita; merupakan sesuatu yang semua sifat-sifatnya dapat disebutkan, namun hanya melalui pengalaman yang aktual sajalah kemungkinannya sunyata itu dapat ditunjukkan ciri-cirinya. Hanya dalam arti yang demikian itu filsafat Mahayana dapat mengungkapkan arti sunyata, dan yang harus dirasakan, atau dihayati sendiri oleh orang yang ingin mengetahui makna sunyata itu. Pangeran Siddhartha sendiri dengan jelas mendasarkan ajarannya atas pengalaman, dan Buddhisme secara keseluruhan itu membicarakan pengalaman. Aliran Yogacara dan Vijnanavada, dari Buddhisme, itu secara khusus mengidentifikasi sunyata dengan pengalaman.
Namun, sunyata itu bukan berarti suatu konsep tentang “pengalaman”, seperti yang disarankan oleh aliran Yogacara dan Vijnanavada. Sunyata itu berarti kekosongan (= voidness = emptiness), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah keadaan kosong dari sesuatu konsep.
Sunyata itu menunjukkan pengalaman yang aktual itu sendiri,- suatu pengalaman yang sifatnya langsung atas penglihatan, pendengaran, pencecapan, penciuman, perabaan, dan fikiran yang konseptual. Jadi, sunyata itu ada disini, ada sekarang ini, merupakan pengalaman yang aktual atas kata-kata yang terdapat didalam halaman buku ini, atas cahaya yang terdapat di kamar ini, atas penghayatan bahwa kita sedang duduk di atas kursi ini, atas kicau burung yang ada diluar kamar kita itu. Untuk menunjukkan counteraksi-nya dari kesan negatifnya, yang diberikan oleh istilah sunyata, pengalaman yang aktual ini juga ditunjukkan oleh istilah partner-nya, yaitu istilah tathata, atau kesedemikianan (= thusness = suchness = thatness). Istilah tathata, menunjukkan pengalaman yang aktual yang secara sederhana diungkapkan dengan berkata “itu” (= that”), seperti yang dilakukan seseorang yang sedang menunjukkan sebuah kamar, dengan lambaian tangannya.
Oleh karena sunyata itu menunjukkan pengalaman yang aktual, dan lalu Pangeran Siddhartha mengajarkan pandangan yang ilmiah tentang pengalaman, – yaitu dengan mengatakan bahwa yang dinamai pengalaman itu adalah sesuatu yang dapat dilihat dan dapat didengar secara langsung -, maka pengalaman itu lalu menjadi authoritas yang paling tinggi. Hal yang demikian itu menjadikan Sang Buddha merupakan filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan yang pertama di dunia. Ketika Nagarjuna berkata bahwa kasunyataan yang relative itu berdasarkan pada sunyata, beliau berarti mengatakan bahwa theori ilmu pengetahuannya didasarkan pada pengalaman yang langsung, – dan keterangan yang demikian ini secara tepat, dapat kita katakan uraiannya merupakan filsafat ilmu pengetahuan, didalam wujud intisarinya, atau didalam kalimat yang ringkas.
Lalu, mengapa Pangeran Siddharta dan Nagarjuna, keduanya menolak mengatakan secara tepat, tentang apa yang beliau maksudkan dengan istilah sunyata itu? Itu akan tidak banyak menimbulkan problema, apabila diartikan sebagai hanya berupa pengalaman keindriaan (= sense experience). Ketika para filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan, dari Dunia Barat, berbicara tentang pengalaman, yang mereka maksudkan adalah pengalaman keindriaan. Tetapi para ahli ilmu jiwa mempergunakan istilah tersebut dalam arti yang luas. Mereka sadar bahwa emosi itu merupakan bagian dari pengalaman, bahwa kata-kata dan angka-angka, serta konsep-konsep itu juga merupakan bagian dari pengalaman. Pangeran Siddhartha, seorang psychologi, atau ahli ilmu jiwa, yang ilmiah, itu memahami pengalaman didalam arti yang luas, seperti yang dimaksudkan oleh para ahli ilmu jiwa.
Sang Buddha itu memanglah pandangannya tentang pengalaman bersifat inklusif, – yaitu suatu pandangan yang tidak hanya logis, tetapi juga berdasarkan pengetahuan yang diperoleh secara langsung, karena beliau telah mencapai Penerangan Sempurna (= Enlightenment = Kesadaran Nirvana). Kalau orang tidak begitu mengalami kesukaran didalam memahami apa yang dimaksud dengan “pengalaman yang aktual”, maka orang mengalami kesukaran jika akan memahami pengertian “pengalaman yang total”, dan mudah mengalami kesalahpengertian terhadap suatu posisi philosophis, misalnya idealisme. Pangeran Siddhartha mengetahui bahwa para penganutnya akan mudah mengalami kesalah-pengertian seperti yang dimaksudkan diatas itu.
“demikianlah… yang akan dialami oleh anda
anda sekalian, di masa-masa yang akan datang. Suttanta-Suttanta yang diucapkan oleh Sang Tathagata, itu begitu dalam, begitu sangat dalam maknanya, sehingga apabila dikemukakan mengenai pengertian dunia, dan pengertian kekosongan, dengan kalimat yang biasa, mereka tidak akan mau mendengarkannya. Tetapi apabila Suttanta-Suttantanya diungkapkan didalam bentuk syair… dengan beraneka ragam kata-kata yang indah-indah, dengan aneka ragam ungkapan-ungkapan… maka mereka akan mau mendengarkannya.” 3
Pengalaman yang demikian sifatnya itu, tidak dapat didefinisikan, karena semuanya ada didalam lingkupnya dan semua konsep dan definisi-definisi itu telah ada didalamnya. Tidak ada sesuatu yang dapat diperbandingkan dan dipertentangkannya. Untuk menamai pengalaman yang demikian itu akan membuatnya menjadi pengertian yang bersifat metaphysis, dan lalu dengan cepat akan mencemarkannya menjadi suatu ide tentang essensi atau substrasi yang berada dibelakang atau dibawah pengalaman yang aktual. Atas dasar ini Candrakirti menamakannya vijnana (= kesadaran atau pengalaman), yang sejenis seperti pengertian Atman atau Ke-Aku-an menurut faham Hindu (Hindu Self) didalam bentuk yang terselubung. 4. Juga :
“Apabila terdapat beberapa hal yang bersifat tidak-kosong (= non-empty), tentu juga terdapat beberapa hal yang diistilahkan sebagai kosong (= empty); lalu apabila tidak terdapat sesuatu yang sifatnya tidak-kosong, lalu dimana mungkinnya terdapat sesuatu yang sifatnya kosong?.” 5.
Dan dengan demikian, baik Pangeran Siddhartha, maupun Nagarjuna, tidak mengatakan bahwa sunyata itu dapat ditunjukkan, tetapi hanya menyarankan agar orang mempelajari therapy meditasi menurut Buddhisme, yang memungkinkan sang meditator dapat memahami pengalaman total, secara langsung.
Dalam memberikan argumentasinya dari titik-kedudukan bahwa kasunyataan yang bersifat absolut dan yang paling hakiki itu hanyalah pengalaman itu sendiri, lalu Nagarjuna mengsistematisir ajaran Pangeran Siddhartha, dan kemudian mengatakan bahwa semua kata-kata, semua lambang-lambang, semua konsep-konsep itu hanya dapat membahas kasunyataan didalam sifatnya yang relative atau empiris saja.
Para sarjana menerima secara keseluruhan pembatasan atas lambang-lambang itu, dan sangat menyadari bahwa kasunyataan yang paling tinggi, yang dapat mereka harapkan untuk diperoleh adalah kasunyataan yang bersifat relative. Mereka mengetahui bahwa penggunaan dari sesuatu kata yang bersifat deskriptif itu bersifat relative hubungannya dengan pengalaman yang sedang diuraikan, dan bahwa arti dari sesuatu bagian dari suatu theori itu bersifat relative hubungannya dengan arti bagian-bagian yang lainnya. Theori-theori itu adalah merupakan model-model symbolis atau konseptual, dan tetap disesuaikan dengan keterangan dari informasi baru, yang diperoleh dari observasi, serta tetap selalu dinilai kebenarannya atas dasar theori-theori lainnya. Sebaliknya, observasi itu dapat menumbangkan keseluruhan theori dan dapat melahirkan theori yang baru. Para sarjana itu, salah satu tugasnya adalah menyusun model-model dunia. Mereka tidak pernah mempergunakan kata-kata yang sifatnya sama sekali bersifat absolut atau paling hakiki.
Oleh karena itu, Buddhisme itu tidak mengadakan argumentasi, tidak memiliki pertentangan, dengan ilmu pengetahuan. Baik Buddhisme, maupun ilmu pengetahuan, itu tidak mendewakan konsep-konsep. Keduanya memandang angka-angka dan kata-kata serta logika sebagai alat-alat yang berguna untuk melaksanakan tugas-tugas yang penting, tidak memperlakukannya sebagai tujuan itu sendiri. Jadi, umat Buddha itu menerima validitasnya ilmu pengetahuan, dan apabila mereka bersaing dengan sesuatu hypothesa ilmiah, mereka melakukannya berdasarkan landasan empiris.
Ilmu pengetahuan Dunia Barat itu tidak hanya merupakan kasunyataan yang relative; itu juga merupakan suatu sistem yang sehat, atau baik, yang mencakup segala sesuatu, dan yang paling sukses, dari kasunyataan yang bersifat relative, yang pernah diperkembangkan oleh Manusia. Itu merupakan suatu kesatuan, telah distandardisasi, bersifat akkumulatif, dan tersebar luas di dunia. Buddhisme itu dapat memperoleh keuntungan dari sistem kasunyataan relative yang demikian itu, – suatu kasunyataan relative yang berasal dari penyelidikan yang bebas, yang berakar pada sekumpulan theori yang bersifat empiris dan akkumulatif. Buddhisme mengkritik loncatan yang tak berdisiplin dari satu fakta ke fakta yang lainnya (vicikiccha). Ilmu pengetahuan Dunia Barat dapat menolong Buddhisme untuk menyatukan dan mengsistematisir dharmanya dan menghubungkannya dengan secara berhasil dengan sekumpulan theori ilmiahnya Dunia Barat.
Para filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan dari Dunia Barat mungkin telah bersiap-siap untuk menyetujui pendapat bahwa Buddhisme telah memajukan filsafat ilmu pengetahuan, seperti yang argumentasinya telah saya kemukakan dimuka tadi. Tetapi mereka mungkin berkeadaan sangat ragu-ragu tentang yang dilakukan oleh buddhisme dengan istilah Kasunyataan yang bersifat hakiki atau yang paling tinggi (= Ultimate Truth), yang akan disumbangkan oleh Buddhisme terhadap ilmu pengetahuan itu. Didalam keinginan mereka untuk menggaris bawahi bahwa ilmu pengetahuan itu hanya membicarakan kasunyataan yang relative, mereka (para sarjana, para ahli ilmu pengetahuan) itu telah memisahkan, atau mengeluarkan dari lingkupnya, semua yang absolut dan yang hakiki, dari filsafat mereka. Mungkin mereka merasa bahwa filsafat ilmu pengetahuan-nya Madhyamika itu dengan menggaris bawahi pengalaman yang total, dan kurang begitu menghargai pengalaman keindriaan, serta menamakan itu sebagai kasunyataan yang absolut, berkeadaan jauh dari bersifat revolusioner; hal yang demikian itu dikatakan sebagai bersifat “mystic” yang tidak usah dikemukakan, karena kurang perlu, dan bersifat kabur. Tetapi kita dapat mengatakan bahwa mereka berkata secara tepat, apabila mereka mengatakan bahwa pengalaman yang total itu merupakan satu-satunya kasunyataan yang absolut, atau yang hakiki, dan filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu bersifat begitu revolusioner.
Pertama, dengan mengemukakan perlunya dimiliki pandangan bahwa filsafat ilmu pengetahuan yang sempurna itu hendaklah memiliki kasunyataan yang hakiki atau yang paling tinggi, dan kasunyataan yang relative, dapat mencegah filsafat ilmu pengetahuan terpecah, menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat “material” di satu fihak, dan religi yang bersifat “spiritual” dan philosophi metaphysis, di fihak satunya lagi. Pandangan filsafat ilmu pengetahuan, yang sempurna, hendaklah memiliki kedua aspek tersebut diatas.
Karena keterpecahan yang demikian itu benar-benar telah terjadi di Dunia Barat, maka kita telah mengalami penderitaan tentang dualisme itu, hingga sekarang ini. Di Dunia Barat itu perkembangan filsafat ilmu pengetahuan berjalan secara sangat lambat. Ilmu pengetahuan itu secara setingkat demi setingkat memperbedakan dirinya dari pandangan yang bersifat religious atau metaphysis mengenai kasunyataan dan pengetahuan, tetapi tidak perlu menyerang pandangan tersebut. Banyak sarjana-sarjana yang juga telah menerima kasunyataan religious tersebut, dan beberapa lainnya tetap melanjutkan bersikap demikian, bahkan hingga sekarang. Pandangan yang secara setingkat demi setingkat muncul, adalah bahwa ilmu pengetahuan itu membicarakan sejenis kasunyataan, yang bersifat praktis, dan menyangkut masalah sehari-hari, yang membicarakan bekerjanya dunia material, sedang religi, filsafat metaphysis, syair-syair, seni dan musik, itu membicarakan kasunyataan yang tidak terikat waktu, yang membicarakan dunia rohani.
Sebagai hasilnya, maka ilmu pengetahuan itu telah memperoleh reputasi yang diberi cap berkeadaan dangkal, dan bersifat tehnis, serta didalam beberapa hal bersifat terbatas dan tidak lengkap. Orang-orang mencari-cari disana-sini, tentang apa yang kurang pada ilmu pengetahuan; mereka mencarinya didalam tempat-tempat yang tampaknya kurang tepat, yaitu pada astrology, pada alchemy, dan pada black magic, tetapi juga mencarinya pada kesenian, serta pada Religi-Religi yang sudah mantap, untuk mencari yang bersifat transcendent, karena sesuatu yang sifatnya tidak mengalami perubahan-perubahan itu akan memberikan tempat yang damai bagi mereka. Namun usaha-usaha penyelidikan mereka itu biasanya sia-sia belaka.
Filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme telah menyatukan kasunyataan “material” dan kasunyataan “spiritual” didalam filsafat yang terpadu. Dengan melakukan hal yang demikian itu, filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme dapat melenyapkan sifat kekakuan yang menekan dari kasunyataan materialnya ilmu pengetahuan, dan dapat melenyapkan sifat spiritualnya dari semua sifat metaphysisnya ilmu pengetahuan, dan membawanya kembali ke pengalaman langsung, yang dihayati di dunia nyata ini, dan sekarang ini.
Didalam Buddhisme, perkataan rohani (= spirit), apabila digunakan, berarti pengalaman aktual yang bersifat total. Itu tidak pernah berarti essensi, atau roh (= soul), atau suatu alam ideal yang makhluk yang bersifat abadi (= immortal being). Apabila perkataan “spiritual” dipakai pada Buddhisme, maka itu yang dimaksudkan adalah pengalaman. Itu menunjukkan bukan terhadap sesuatu pengalaman yang khusus, tetapi kepada pengalaman total, dan terhadap pemahaman yang langsung atas pengalaman total, melalui penghayatan Penerangan Sempurna. Pengalaman yang sama, yang menjadi basis ilmu pengetahuan, didalam keseluruhannya, menjadi basis dari kebebasan.
Didalam Buddhisme aliran Mahayana, yang dinamai zat (= matter), adalah pengalaman yang dikonseptualisasikan. Agar supaya membentuk suatu model yang bersifat simbolis atau konseptual, dari pengalaman, yaitu misalnya pengalaman mengenai dunia, atau tubuh, atau otak, tugas kita akan terasa enak, tidak sukar, apabila kita mau menganggap pengalaman itu sebagai zat (= matter = stuff), Dunia material itu sesungguhnya tidak berat, padat, atau menekan. Itu hanyalah merupakan suatu model konseptual dari pengalaman, yang juga ada didalam pengalaman. Jadi, istilah rupa, yang dipergunakan oleh Buddhisme aliran Theravada, itu berarti zat (= matter), dan oleh aliran Mahayana, berarti bentuk (= form), atau model konseptual.
Filsafat pengetahuannya Mahayana, tentang alam, itu terbagi menjadi roh (= spirit) dan zat (= matter), dan mentransformasikannya menjadi kekosongan (= emptiness) dan bentuk (= form), yaitu menjadi pengalaman total dan model-model konseptual. Dan itu mentransformasikan pandangan yang religious dari dunia material, yang muncul dari dan berada didalam dunia spiritual, menjadi pandangan ilmiah tentang model-model konseptual, yang muncul dari dan berada didalam pengalaman aktual yang bersifat total.
Itu cukup bersifat revolusioner, tetapi filsafat ilmu pengetahuannya Mahayana, memiliki keterangan lebih lanjut. Dengan mengatakan bahwa pengalaman aktual yang bersifat total, itu saja yang merupakan kasunyataan yang hakiki, maka itu membuat tidak bersuaranya semua metaphysika, baik yang ada didalam, maupun yang ada diluar, dari ilmu pengetahuan. Itu memperkuat fakta bahwa kasunyataan yang ilmiah itu tidak pernah lebih dari kasunyataan yang relative, yang memiliki nilai yang besar, tetapi diterangkan lebih lanjut, dan dikatakan bahwa suatu kasunyataan, yang verbal, atau yang numerical, yang sifatnya religious, dan philosophis, atau jenis lainnya semacam itu, dapat juga tidak pernah meng-claim untuk berkeadaan lebih besar nilainya dari pada kasunyataan yang bersifat empiris dan relative. Itu menolak validitasnya sesuatu kasunyataan yang absolut dan yang hakiki lainnya, dengan pernyataan oleh sesuatu system non-ilmiah dari fikiran, karena adalah tidak mungkin ada sesuatu, yang berada diatas, disebelah sananya, atau diluar pengalaman yang bersifat total.
Penolakan Pangeran Siddhartha terhadap Ke-Aku-an Hindu (= Hindu Self) itu mungkin dapat diperluas sampai kepada Yang Absolut dari sesuatu filsafat yang metaphysis, Dewa, Surga, dan Neraka, saya fikir, oleh karena itu juga “Diri saya”; semuanya adalah konsep-konsep, hanya kata-kata, yang terdapat didalam pengalaman. Semua kumpulan fikiran, – dari Agama-Agama, Filsafat-Filsafat, dan Buddhisme itu sendiri semuanya adalah model-model konseptual, dan semua terbuka bagi testing secara langsung, terhadap pengalaman dengan sifat ketatnya dari methode ilmiah. Bahkan apabila Surga dan Neraka itu ternyata, setelah dibuktikan secara ilmiah, benar-benar ada, itu tetap hanya merupakan bagian dari pengalaman total, dan tidak akan dapat didalam cara apa pun, melebihi, atau bersifat transcendent, diatas pengalaman total.
Nagarjuna, bahkan melangkah lebih lanjut lagi, – yaitu didalam arah bersaing dengan yang absolut lainnya, didalam system pemikiran lainnya. Beliau tidak menyampaikan argumentasinya dari sudut pandangan ilmiahnya sendiri, dan menyadari bahwa itu adalah hanya salah satu dari banyak sudut pandangan ilmiah lainnya. Nagarjuna mempergunakan methode dialectic, yaitu beliau menyampaikan seperangkat uraian, untuk membuktikan ketidak-benaran dari semua filsafat metaphysis, atas dasar istilahnya sendiri. Inilah sebabnya mengapa tulisan-tulisan Nagarjuna itu penuh dengan begitu banyak hal-hal yang sangat cemerlang, tetapi dengan analisa philosophis yang sangat sukar.
Dia membuktikan bahwa tidak ada religi atau philosophi yang secara logis dapat mendukung pernyataannya sendiri, dengan mengatakan bahwa pengetahuannya meliputi kasunyataan yang absolut, dan dengan demikian memungkinkan filsafat ilmu pengetahuannya meng-claim bahwa hanya filsafat ilmu pengetahuannya sendiri yang merupakan filsafat pengetahuan yang valid.
Kalau kita ringkaskan semua yang telah kita kemukakan diatas itu, maka dapatlah kita jelaskan bahwa filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu sungguh-sungguh bersifat revolusioner, dengan alasan-alasan sebagai berikut ini :
Ilmu-ilmu pengetahuan mengetahui bahwa kasunyataan yang ilmiah adalah bersifat relative atau empiris, serta didasarkan pada pengalaman yang aktual. Buddhisme juga menerima kasunyataan empiris, dan mendapati bahwa itu terdapat pada sunyata. Saya percaya bahwa Sunyata itu menunjuk kepada pengalaman yang aktual, dan dengan demikian Buddhisme juga berkata bahwa kasunyataan yang empiris itu haruslah terdapat pada pengalaman yang aktual.
Saya percaya bahwa filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu bersifat revolusioner, karena tidak didasarkan kepada pengalaman keindiriaan, tetapi didasarkan kepada pengalaman total; dan karena Buddhisme mengatakan bahwa hanya pengalaman aktual yang total saja yang merupakan kasunyataan yang hakiki, atau yang paling tinggi. Ini mencegahnya untuk tidak mengalamai pecahnya menjadi ilmu pengetahuan yang sifatnya “material”, yang berat, dan prosaic, serta religi, philosophi, dan seni, yang sifatnya “spiritual”, liberal, dan transcendent. Itu mencakup yang bersifat “material”, dan yang bersifat “spiritual”, technology dan liberal, yang keduanya terdapat pada satu filsafat ilmu pengetahuan. Lagi pula, itu secara khusus menolak kasunyataan yang religious, dan metaphysis, dan mengemukakan claimnya bahwa hanya filsafat ilmu pengetahuan (= philosophy of science) saja, satu-satunya yang valid, dari filsafat pengetahuan (= philosophy of knowledge) yang ada.
Kalau Dunia Barat itu sangat hebat didalam hal systematisasinya dan applikasinya kasunyataan empiris, maka Dunia Timur, memiliki, pada Buddhisme, suatu filsafat ilmu pengetahuan yang lebih tua dan lebih maju dari pada yang dimiliki Dunia Barat. Seluruh sejarah ilmu pengetahuan itu perlu ditulis ulang kembali. Pangeran Siddhartha, yang kemudian menjadi Buddha, itu adalah merupakan filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan, yang pertama, yang memberikan kepada Dunia Timur, tradisi ilmiah setua seperti yang dimiliki oleh Dunia Barat, dan sumbangan utamanya kepada Dunia Filsafat, adalah berupa meletakkan dan membuat filsafat ilmu pengetahuan bersifat universal dan revolusioner.
Kamis, 02 Desember 2010
Menyucikan Hati Oleh: Yang Mulia Ajahn Chah
Sabtu, 13 November 2010
Senin, 01 November 2010
Minggu, 24 Oktober 2010
Foto Acara Peletakan Batu Pertama Vihara Dhamma Mangala Ketapang Kalimantan Barat
Minggu, 17 Oktober 2010
Koleksi Foto Kedatangan para Bhante ke Ketapang Tanggal 09 Oktober 2010
Kedatangan 4 Bhante yaitu Y.M. Subalaratano Mahathera, Y.M. Thitayanno Thera, Y.M. Bhikkhu Suratano, Y.M. Bhikkhu Cakkavalo didampingi Rudi Sugianto dari Patria Pontianak pada tanggal 9 oktober 2010, di Bandara Rahadi Oesman,Ketapang, Kalimantan Barat
Pada Malam hari tanggal 9 oktober 2010 diadakan puja bakti di Cetya Dhamma Mangala, diisi dengan Dhammadesana oleh Bhante Subala, beberapa foto lainnya
Inilah rangkaian acara kami pada saat tanggal 09 Oktober 2010
Jumat, 08 Oktober 2010
Undangan Peletakan Batu pertama Vihara Dhamma Mangala
Sehubungan dengan pembangunan Vihara Dhamma Mangala,kami mengundang Bapak/Ibu/Saudara ke :
Peletakan Batu Pertama Vihara Dhamma Mangala diadakan pada :
Hari/Tanggal : Minggu 10 Oktober 2010
Waktu : 10.10-selesai WIB
Tempat : Jln. Lingkar kota Rt.30/Rw 10, Kel. Mulia Baru, Kec. Delta Pawan,KETAPANG, KALIMANTAN BARAT, INDONESIA
Atas kehadiran dan perhatiannya seluruh Panitia Pembangunan Vihara Dhamma Mangala mengucapkan Terima Kasih.
Pengurus Blog Ketua
Saccagavesako Romo Kusalo
Jumat, 01 Oktober 2010
Daftar Nama Para Donatur Pembangunan Vihara Dhamma Mangala Ketapang Oktober-Desember 2010
Mohon sertakan Kota Asal anda untuk pendataan, terima kasih.
Tanggal 01/10/2010
Sohar Sobandar (Alm.) & Winawati (Almh.) : Rp 1.000.000
Chang Yun Kie (Almh.) : Rp 1.000.000
Chang Po Lan : Rp 1.000.000
Sugandhi Sanjaya : Rp 300.000
Natasha Sanjaya : Rp 300.000
Nadya Sanjaya : Rp 300.000
Adithya Viryanata, Amanda Mariana, Ardhika Kevala, Mahinda Aggajoti : Rp 10.000.000
Erly Kuwandy : Rp 900.089
Lim Yong Huat (Alm.) & Kwee Ceh Hiang (Almh.) : Rp 250.000
Lim Tau Yong & Lie Man Djin : Rp 250.000
Lay Thit Khiung (Alm.) & Liu Khim Phung (Almh.) : Rp 250.000
Nyo Thong Djim (Alm.) & Lay Ngen Eng (Almh.) : Rp 250.000
Sim Nguan Lian : Rp 500.000
Kwa Ai Pio : Rp 500.000
Tio Un Un : Rp 300.000
Ny Jd Kho See Hong : Rp 100.089
Tanggal 02/10/2010
Roni Effendi : Rp 200.000
Salim Wongso & Leluhur, Yeni Lauw & Keluarga : Rp 5.000.000
Susianti Ng : Rp 1.000.000
Eng Suan : Rp 250.089
Tanggal 03/10/2010
Nn Kho Fifi Kurniawan : Rp 150.089
Tanggal 04/10/2010
Rudi Gunawan,S.E. : Rp 20.000.000
Gunawan Aldjawi : Rp 50.000
Adi : Rp 500.000
Heldin : Rp 100.000
Tanggal 05/10/2010
Ho Choi Lin : Rp 500.000
Song Thiam Lai : Rp 500.000
Lim An Ciok : Rp 100.000
Liu Sung Jung : Rp 300.000
Tju Bui Fung : Rp 300.000
Tio Nam Pheng : Rp 150.000
Gou Lip Hong : Rp 100.000
Khou Kim Hang : Rp 50.000
Khou Lip Seng : Rp 100.000
Gou Chun Pheng : Rp 100.000
Heng Siak Kuang : Rp 200.000
Gui yap Tie/ Yap Nam Khun : Rp 100.000
Yap Siau Tie :Rp 50.000
Lyang Che Ui : Rp 50.000
Bun Hak : Rp 50.000
Ng Ciau Seng : Rp 30.000
Chou Ngok Phin : Rp 50.000
Cia Ciau Tai (Aneng) : Rp 50.000
Khweng Khai : Rp 20.000
Yap Nam Seng : Rp 50.000
Tju Bui Kong : Rp 100.000
Ng Sun Seng : Rp 100.000
Tanggal 06/10/2010
Yanuarwati : Rp 30.000
Tanggal 08/10/2010
Cia Khian Bun : Rp 1.000.000
Ciu Yang Wei : Rp 500.000
Lau Hui Tjuan : Rp 1.000.000
The Lie Hui : Rp 500.000
Tanggal 09/10/2010
Bong Kong Fung : Rp 1.000.000
Chai Hok Chak : Rp 1.000.000
Chai Nyien Lung : Rp 1.000.000
Cong Jun Sen : Rp 500.000
Cong Kien Fong : Rp 50.000
Gou Bak Chai : Rp 100.000
Gou Bak U : Rp 200.000
Gou Hui Miang : Rp 1.500.000
Gou Hui Khim : Rp 300.000
Jau Cau Men : Rp 500.000
Jau Siau Men : Rp 1.000.000
Lie Jun Khiong : Rp 1.000.000
Lie Jun Kiun : Rp 500.000
Lie Kin Khien : Rp 1.000.000
Lie Lif Fie : Rp 5.000.000
Lie Pek Ho : Rp 1.000.000
Lie Pek Yang : Rp 1.000.000
Lim Bu Seng : Rp 1.000.000
Lim Hui Ceng : Rp 500.000
Lim Ngak Ce : Rp 500.000
Lim Ngak Chiau : Rp 200.000
Ng Weng Meng : Rp 1.000.000
Po Cun Kia : Rp 300.000
Seng Bun Tong : Rp 1.000.000
Sen Keng Heng : Rp 1.000.000
Seng Kiang Hong : Rp 500.000
Seng Kiang Meng : Rp 500.000
Tan Sui Kong : Rp 2.000.000
Tan Ce Mong : Rp 5.000.000
Tan Sung Sang : Rp 5.000.000
Yap Khong Fa : Rp 500.000
Fransiska Puspasar : Rp 200.089
Suyandi : Rp 100.089
Herlina Wejuna : Rp 250.089
Lioe Fung Ming & Kel. : Rp 3.000.000
Tanggal 10/10/2010
Lie Bui Tjham : Rp 1.000.089
Rusly Lee Sek : Rp 100.089
Jason dan Indrawaty : Rp 100.089
Tanggal 12/10/2010
Lie Njoek Fie : Rp 10.089
Tanggal 13/10/2010
Suhanda Wijaya : Rp 10.000.000
Chin Phin Fui : Rp 100.000
Tanggal 15/10/2010
Chong Pak Kin : Rp 1.500.000
Tanggal 16/10/2010
NN : Rp 500.000
Fabian Chandra : Rp 150.000
Mery Gan : Rp 100.000
Majalah Dhammacakka : Rp 100.000
Kwee Kun Liong (Alm.) : Rp 500.000
Nani : Rp 500.000
Viriya Citta : Rp 1.000.000
Ariya Chanda : Rp 1.000.000
NN : Rp 2.000.000
Tanggal 17/10/2010
Dani Ciputra : Rp 122.366
Tanggal 18/10/2010
Sutandy Laurus : Rp 20.089
Tanggal 19/10/2010
Heng Su Mang : Rp 1.000.000
Hendrawan Gozali : Rp 500.000
Tanggal 20/10/2010
She Fung Iljas : Rp 200.089
Tanggal 22/10/2010
Ani : Rp 100.000
Neti : Rp 100.000
Lina : Rp 100.000
Mina : Rp 300.000
Pimpin Kusuma Murni : Rp 100.000
Sutandy Laurus : Rp 80.089
Lai Sue Lie & Jau Sun Min : Rp 300.000
Kwee Bun Hue : Rp 500.000
Daniel Winata : Rp 200.000
Tanggal 23/10/2010
CV Pelumasindo KalBar : Rp 1.000.000
Tanggal 26/10/2010
Chandra Tju : Rp 2.000.089
Erick Handoyo : Rp 100.000
Indah Wijaya : Rp 200.000
Lai Feng Chu : Rp 681.450
Keluarga Then : Rp 9.200.000
Kwee Seng Hua (Alm.) & Tan Hui Kim : Rp 1.000.000
Tanggal 28/10/2010
Chrisyanti Tansil : Rp 100.000
Tanggal 29/10/2010
Lina : Rp 50.000
Vera Jessica Tjian : Rp 50.089
Toko Dunia Baru : Rp 100.000
Toko Setia Jaya (Ibu Rossa Iriani) : Rp 200.000
Nyo Hui Kheng (Alm.) : Rp 200.000
Lim Bak Ui : Rp 200.000
Lay Se Se : Rp 200.000
Kundha Mutiari : Rp 3.000.000
Tanggal 31/10/2010
Handoyo Widya : Rp 1.300.089
Liau Su Gek : Rp 150.000
Tanggal 03/11/2010
Ida : Rp 200.089
Tanggal 04/11/2010
Erly Kuwandy : Rp 900.089
Tanggal 05/11/2010
Cu Cen Tung/ Sutarjo T. : Rp 300.089
Gunawan Aldjawi : Rp 50.000
Poppy Anggreni Angka (Bali-Denpasar) : Rp 1.000.000
KT. Endrawati (Bali-Denpasar) : Rp 50.000
Kadek Sariani (Bali-Denpasar) : Rp 50.000
Komang Mariasih (Bali-Denpasar) : Rp 50.000
Niluh Lamiani (Bali-Denpasar) : Rp 50.000
Cristian & Family (Bali-Denpasar) : Rp 200.000
Cahyadi Oetomo Oey (Kaltim-Berau) : Rp 300.000
Grace (Bali-Denpasar) : Rp 100.000
Elly Yinawati (Bali-Denpasar) : Rp 100.000
Oey Kok Dieng (Bali-Denpasar) : Rp 100.000
Widhi (Bali-Denpasar) : Rp 50.000
Richard Benedic (Bali-Denpasar) : Rp 50.000
Vivi Mulyadi (Bali-Singaraja) : Rp 100.000
Merta Negara (Bali-Negara) : Rp 100.000
Ratna (Bali-Negara) : Rp 100.000
Enik (Bali-Denpasar) : Rp 200.000
Inge Herryawati (Jatim-Lawang) : Rp 1.000.000
Budi Hartono (Bali-Denpasar) : Rp 100.000
Ailen Velia Tristanto (Bali-Denpasar) : Rp 100.000
Merya Eveleen (Bali-Denpasar) : Rp 100.000
Nadia Rosaline Lie (Bali-Denpasar) : Rp 100.000
Sarip Tjandra (Bali-Denpasar) : Rp 200.000
Emmy Herryawati (Kaltim-Berau) : Rp 500.000
Vivi Mulyadi (Bali-Denpasar) : Rp 300.000
Tanggal 06/11/2010
Liau Lie Eng : Rp 1.000.000
Billy : Rp 2.000.000
Lie Siong Djun (Alm) : Rp 1.288.000
Cu Lie Khun : Rp 200.000
Tanggal 11/11/2010
Ida : Rp 200.089
Tanggal 13/11/2010
Jong Chin Fuk (Hermansyah) : Rp 150.000
Tanggal 14/11/2010
Ng Piang Chai : Rp 200.000
Lim Gow Pheng : Rp 500.000
Soi Leng : Rp 1.000.000
Ali Simon & Kel. : Rp 200.000
Tanggal 15/11/2010
Rosmeina : Rp 300.089
Tanggal 16/11/2010
Petrus : Rp 50.000
Tanggal 18/11/2010
Sukha : Rp 50.000
Kwee Thiam Heng : Rp 1.000.000
Jeffry Delano & Hendrik Leonardy : Rp 1.000.000
Tauji Toko Mitra Jaya : Rp 300.000
Andy Wijaya : Rp 200.000
Tan Lie Hui Toko Panca Setia : Rp 500.000
A Haw Toko Sumber Utama : Rp 1.000.000
Tanggal 19/11/2010
Hendra (Bali) : Rp 30.000
Cynthia Anggreni (Bali) : Rp 200.000
Angka Mulyadi (Alm.) (Bali) : Rp 250.000
I Made Sura (Alm.) (Bali) : Rp 250.000
Cristin Tanuwijaya (Bali) : Rp 100.000
Chandra Dewi (Bali) : Rp 100.000
Wang Ling Ling (Bali) : Rp 250.000
Jimmy Heryawan (Bali) : Rp 250.000
Tanggal 20/11/2010
Seseorang a.n. Masyarakat Ketapang : Rp 653.000
Tanggal 22/11/2010
Lay Bun Chan : Rp 200.000
Lie Hia Kheng : Rp 1.000.000
Tjiu Djin Tjong (Jinaputto) : Rp 3.000.000
Tanggal 23/11/2010
Dr. Ali Fuchih Siauw, MBA, M. Rep & Keluarga : Rp 2.500.000
Tanggal 27/11/2010
Syaiful Candra : Rp 3.000.000
Tanggal 30/11/2010
Vera Jessica Tjian : Rp 50.089
Tanggal 02/12/2010
Jong Lip Jung : Rp 200.000
Tanggal 08/12/2010
Chrisyanti Tansil : Rp 100.000
Heng Mui Khiang : Rp 200.000
Tanggal 09/12/2010
Yanto : Rp 100.000
Tanggal 13/12/2010
Susanto Wirya Sanjaya & Kel : Rp 5.000.000
Tanggal 19/12/2010
Rosmin Adi & Kel : Rp 200.089
Tanggal 21/12/2010
Chrisyanti Tansil : Rp 100.000
Erly Kuwandy : Rp 3.000.089
Tanggal 22/12/2010
Pemda Kab. Ketapang : Rp 10.000.000
Tanggal 24/12/2010
Tan Lie Kheng : Rp 2.000.000
Tanggal 29/12/2010
Rudy Gunawan, S.E. : Rp 25.000.000
Bunga Bank Juli-September (setelah dipotong pajak) : Rp 682.894
Bunga Bank Oktober (setelah dipotong pajak) : Rp 833.580
Bunga Bank November (setelah dipotong pajak) : Rp 840.412
Bunga Bank Desember (setelah dipotong pajak) : Rp 819.925
Biaya Pembangunan : Rp 1.611.326.979,42
Dana yg terkumpul : Rp 703.400.516,00
Dana yang Masih diperlukan : Rp 908.546.655,42
Bagi anda yang ingin berdana dapat ditransfer ke rekening panitia pembangunan Vihāra Dhammamaṅgala :
Bank BCA Cabang Ketapang
No rek : 8955016897
A/N LAI BUNSUI atau THEN KWET FAM
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
Romo Kusalo Lai Bun Sui 0811572529 / 081256550188
Balakalyano Then Kwet Cung 081352063635
Mangala Putta Then Kwet Fam 085245954233
DANANCA DHAMMACARIYANCA,ETAM MANGGALA MUTTAMAN
BERDANA DAN MEMPRAKTIKKAN DHAMMA,ITULAH BERKAH UTAMA
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitta
NB : mohon untuk menambahkan angka 89 pada dana utk memudahkan pengecekan.
contoh : Rp 100.089,- bagi yang sudah mentransfer mohon memberitahukan nama donator dan
jumlah dana ke 081256550188 (mohon via sms aja).nama donator akan kami update terus dan bisa dilihat di www.dhammamangala.blogspot.com
Bila ada yg sudah mentransfer dan namanya tidak ada pada daftar donator mohon untuk mengkonfirmasi ulang ke no 081256550188.
Selasa, 21 September 2010
Fang Sen (Pelepasan Makhluk Hidup)
Fang Sen sesungguhnya merupakan tindakan untuk menebar cinta kasih kepada semua makhluk. Kita dengan melepas makhluk tersebut ke alam bebas maka kita telah menebarkan cinta kasih. Perbuatan ini merupakan perbuatan yang sangat positif untuk melatih diri kita melakukan perbuatan baik dengan memunculkan benih cinta kasih. Fang Sen yang dilakukan sesungguhnya didasari pada harapan agar semua makhluk hidup berbahagia dan bebas dari penderitaan.
Dengan melakukan Fang Sen berarti kita telah berkontribusi dalam menjaga ekosistem untuk menghindari dari kepunahan spesies-spesies. Kita mengembalikan mereka ke habitatnya sehingga mereka dapat bereproduksi untuk menghasilkan hewan-hewan baru. Sebuah tebaran cinta kasih yang mulia.
Umat Buddha memandang Fang Sen ini merupakan kegiatan yang penting dan perlu untuk dilaksanakan secara terus-menerus. Hal ini karena Fang Sen memiliki makna spiritual yang sangat dalam, yaitu : Pengembangan cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk. Salah satu cara untuk purifikasi karma buruk, khususnya karma membunuh, yaitu dengan melakukan hal yang berkebalikan (antidote). Dengan Fang Sen, kita telah memperpanjang umur makhluk hidup, yang berkebalikan dengan mengambil nyawa dari makhluk lain.
Pelepasan terhadap satwa mengandung arti pula dengan melepaskan penderitaan hewan dapat hidup bebas dihabitatnya diharapkan dengan perbuatan serupa tersebut kita pun dapat terbebas dari segala kesulitan dan kesukaran hidup yang kita hadapi dan alami. Pengaruh ekosistem, yaitu kegiatan ini ikut menjaga dan memelihara keseimbangan alam, baik habitat yang hidup di air maupun di darat karena kita mengenal adanya hukum alam. Keseimbangan alam akan mempengaruhi hidup manusia. Oleh karena itu kita perlu bijaksana dalam mengatur dan memanfaatkan alam semesta. Tindakan penggalian alam secara maksimal tanpa ada upaya menjaga keseimbangan akan membawa bencana pada manusia nantinya. Buddha Dharma adalah ajaran yang sangat menghargai kehidupan. Setiap makhluk hidup (sekecil apapun) adalah sama berharganya dengan diri kita. Buddha Dharma mengajarkan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak mengakhiri kehidupan makhluk lain dengan alasan apapun.Dalam Kitab Suci Tripitaka, bagian Anguttara Nikaya III, 203, Buddha mengajarkan lima aturan moral (sila) yang dikenal dengan Panca Sila Buddhis. Kelima sila tersebut adalah bahwa seorang umat Buddha bertekad melatih diri menghindarkan diri dari:
- pembunuhan makhluk hidup
- perbuatan pencurian
- perbuatan asusila
- ucapan yang tidak benar
- minuman yang menyebabkan kesadaran berkurang.
Senin, 20 September 2010
32 Ciri Seorang Buddha
Siapa Sang Buddha sebelum menjadi seorang Buddha tentu anda juga tahu. Yaaaa betul, dahulu beliau kita kenal dengan Pangeran Sidharta yang baik hati dan mulia hatinya hingga rela mengorbankan segala yang beliau punya demi mencari jalan melenyapkan penderitaan bagi umat manusia.
Namun pertanyaannya sekarang adalah apakah Pangeran Sidharta dahulu sebelum menjadi Buddha sama saja dengan orang lain?? apakah ada perbedaan atau ciri-ciri khusus pada diri beliau?? jawabnya adalah "Beda", beliau memang sudah mempunyai ciri-ciri seorang Buddha. Lalu tahukah anda ciri-ciri apa yang membedakan seorang Buddha dengan makhluk lain??
Jawabannya adalah:
1) Kaki yang datar
2) Kaki yang bercirikan suatu roda dengan seribu jeruju (Utsanga-pada)
3) Jari tangan yang ramping
4) Kaki dan tangan yang lemah gemulai
5) Jari kaki dan tangan terselaput secara indah (Jal-anguli-hasta-pada)
6) Tumit yang berukuran sempurna
7) Permukaan bagian atas di antara jari kaki dan pergelangan kaki melengkung
Paha yang seperti raja rusa jantan
9) Tangan yang mencapai ke bawah lutut
10) Alat tubuh rahasia lelaki yang tersembunyi
11) Tinggi dan lebar tubuh yang seimbang
12) Rambut yang berwarna biru tua
13) Bulu badan yang ikal dan halus gemulai
14) Tubuh yang berwarna keemasan
15) Kaki yang memancarkan cahaya
16) Kulit yang lembut nan halus
17) Tujuh bagian tubuh (2 telapak kaki, 2 muka tangan, 2 bahu dan kepala gigi) padat ideal (Sapt-Otsada, Sapt Occhada)
18) Dibawah ketiak berisi padat (Cit-antaramsa)
19) Tubuh berbentuk singa
20) Tubuh yang lurus (Nyagrodha)
21) Bahu yang padat (Susamvrita)
22) Jumlah gigi empat puluh
23) Gigi yang putih, rata, rapat (Avirala-danta)
24) Empat gigi taring putih murni
25) Rahang yang seperti rahang singa
26) Air liur yang dapat melezatkan makanan (rasa-rasagrata)
27) Lidah yang panjang dan lebar (Prabhuta-tanu-jihva)
28) Suara yang ulam dan merdu (Brahma-svara)
29) Mata yang biru tua (Abhinila)
30) Bulu mata seperti bulu mata raja sapi jantan
31) Suatu lingkaran putih di antara bulu matanya memancarkan cahaya (urna)
32) Kepala gigi yang penuh daging
Minggu, 19 September 2010
Biarkanlah Pohon Itu Tumbuh - Ven. Ajahn Chah
Karena itu, Anda harus mengerti perbedaan antara kerja Anda dengan kerja pohon itu, Serahkanlah urusan pohon itu kepada pohon itu, dan bertanggung jawablah kepada urusan Anda sendiri. Jika batin tidak tahu apa yang perlu ia lakukan, ia akan memaksa tanaman itu untuk tumbuh, berbunga dan berbuah pada hari yang sama. Ini adalah pandangan yang salah, penyebab besar dari penderitaan. Berlatih sajalah pada arah yang benar dan serahkan hasilnya pada karmamu. Kemudian, apakah akan membutuhkan waktu satu atau ribuan kali kehidupan, latihan Anda akan berada dalam kedamaian.
Sumber : Buku Telaga Hutan Yang Hening By Mutiara Dhamma.Kamis, 16 September 2010
Kebaktian Dan Manfaatnya
Salah satu dari sepuluh perbuatan baik, yang di ajarkan oleh Sang Buddha adalah Veyyavaca (Berbhakti kepada nusa,bangsa dan agama. Berbhakti kepada nusa dan bangsa, dalam hal ini adalah turut melindungi, membela, mempertahankan dan memperjuangkan kemakmuran, demi nusa dan bangsa. Salah satu wujud nyata dari kontribusi kemakmuran demi nusa dan bangsa adalah dengan membayar pajak yang sejujurnya.
Didalam kitab suci Anguttara Nikaya III : 45, Sang Buddha menyabdakan : "Dengan harta kekayaan yang telah dikumpulkan dengan bersemangat, dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya bahagia, orang tuanya, istri dan anak anaknya, pelayan, bawahannya dan orang-orang lain juga bahagia dapat mempertahankan kekayaanya memberikan hadiah kepada sanak keluarga, tamu-tamu, arwah para leluhur dan para dewa. Membayar pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci, untuk mengumpulkan pahala...."
Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, sudah seharusnya kita berbhakti kepada nusa dan bangsa. Coba direnungkan barang sejenak, apakah yang bakal terjadi, jika seandainya kita hidup di dalam kekacauan, kerusuhan, ketidakdamaian dan kekerasan…..? Pasti sungguh menderita sekali akibatnya. Tanpa adanya bhakti yang mendalam terhadap nusa dan bangsa maka sifat memiliki (self of belongings) untuk melindungi, menjaga dan mempertahankan nusa dan bangsa, akan sirna segera. Jika kondisi ini sampai terjadi, maka penderitaan yang berkepanjanganlah, yang akan dirasakan.
Dan bagaimana pula, jika kita sebagai suatu individu yang beragama….? Tanpa adanya bhakti yang mendalam terhadap agama yang dianut maka sampai kapanpun, yang namanya kebahagiaan adalah bagaikan angan angan, yang berada di angkasa luar. Salah satu wujud bhakti umat Buddha, terhadap ajaran luhur Sang Buddha adalah dengan mau ikut berpartisipasi aktif, disetiap aktivitas Vihara/Cetiya, baik di hari-hari besar agama Buddha, maupun disetiap hari uposatha (kebhaktian). Umumnya, kita baru mau melaksanakan puja bhakti (kebhaktian) jika ada masalah-masalah yang tidak terpecahkan,tertimpa musibah, ingin mendapatkan berkahan ini dan itu, minta murah rezeki/umur yang panjang atau hanya sekedar formalitas, agar tidak dikatakan "atheis : tidak beragama". Jika dikarenakan oleh kondisi ini, kita baru mau ke Vihara/Cetiya, akan adakah manfaatnya…..? Sudah pasti tidak. Ini bisa diibaratkan dengan, setelah kehujanan (basah), baru menyediakan payung. Sebelum sakit, kesehatan tidak dijaga dengan baik, setelah sakit baru kedokter. Bukankah ini suatu hal yg sudah terlambat…? Singkatnya, jika ada masalah, Sang Buddha teringat tetapi jika lagi senang, Sang Buddha terlupakan. Inilah salah satu contoh dari :" moha : kebodohan".
Salah satu faktor yang menyebabkan, sampai timbulnya keengganan untuk mau ke Vihara/Cetiya, mungkin saja karena tidak dimilikinya pengertian yang baik, akan manfaat manfaat dari ke Vihara/Cetiaya. Sehingga timbul suatu pandangan salah, yang menyatakan bahwa ke Vihara/Cetiya itu, hanyalah membuang buang uang, waktu, tenaga dan perasaan (dicela atau disepelekan) saja. Apakah benar adanya bahwa ke Vihara/Cetiya, tiada manfaatnya sama sekali……? Nach, untuk lebih jelasnya, akan ada tidaknya manfaat manfaat ke Vihara/Cetiaya, marilah kita renungkan sesaat, uraian yang tertera dibawah ini. Kalau kita memiliki keseriusan dan keyakinan yang mendalam, di dalam pelaksanaan kebhaktian maka secara tidak langsung kita telah :
-
Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan NAMASKARA.
Pada dasarnya, kita ini termasuk manusia yang sombong dan angkuh. Mau tahu bukti nya…..? Disaat kita photo bersama dan setelah hasilnya didapatkan. Gambar siapakah yang pertama sekali dilihat…..? Pasti diri sendiri ! Mengapa bukan orang lain….? Inilah salah satu contoh dari ke Aku an. Contoh yang lainnya adalah apakah reaksi yang bakal timbul jika dikatakan cantik dan menawan…..?
Pasti, bangganya luar biasa atau lupa diri barang sejenak. Dan bisa saja merasakan, seakan akan berada di angkasa, bagaikan burung yang terbang melayang layang kesana-kemari. Coba kalau kondisi sebaliknya yang terjadi, misalnya dikatakan jelek, jorok, menjengkelkan, kampungan, tidak bermoral dan membosankan. Reaksi apakah yang bakal timbul….? Pasti kesedihan yang berkepanjangan, bisa saja dicurahkan dalam wujud tangisan atau ratapan, yang ber episode lamanya. Baginya, hidup ini tiada artinya sama sekali. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak dan pikiranpun serba ruwet.
Ini adalah kondisi kondisi yang umumnya, membelenggu bathin kita. Kalau di puji, gembiranya luara bisa, dan bisa saja sampai lupa daratan tetapi jika dicela, sedihnya pun tak terkirakan, baginya hidup ini, tidaklah berarti lagi. Ciri khas orang orang yang ke Aku an nya sangat menonjol adalah sedih dikala dicela dan gembira (bangga) kalau dipuji. Sang Buddha menyabdakan : "Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana, tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian….."
Jadi, bisa disimpulkan bahwa ke AKU an yang sangat menonjol, tidaklah berbeda dengan Si bodoh. Bodoh dalam hal ini adalah gampang (mudah) diombang ambing dan dipengaruhi, untuk mau melakukan perbuatan perbuatan, apapun juga. Selanjutnya, bagaimana caranya agar kita bisa menekan/mengurangi ke AKU an di Vihara/Cetiya…..? Caranya yaitu melalui pelaksanaan Namaskara (berlutut dan bersujud) sebanyak tiga kali, dihadapan Buddha rupang (Arca/patung Nya, Sang Buddha). Dalam hal ini, apakah kita menyembah-nyembah patung…? Pasti tidak ! Sang Buddha saja tidak kita sembah, apalagi patung Nya. Makna dari namaskara, merupakan salah satu wujud dari penghormatan dan rasa terima kasih kita, atas jasa jasa luhur Sang Buddha. Sikap namaskara, dalam hal ini, tidaklah difokuskan untuk menyembah nyembah patung. Semasa hidup Nya, Sang Buddha tidak pernah memperkenankan umat Nya, untuk menyembah nyembah beliau. Disetiap sabda Nya, Sang Buddha selalu menekankan bahwa cara penghormatan yang benar terhadap beliau adalah dengan melaksanakan Dharma (kebenaran) di dalam kehidupan yang nyata.
Jadi adalah suatu anggapan yang salah dan fatal sekali, jika mengatakan bahwa umat Buddha menyembah-nyembah patung, di setiap kali kebhaktian. Sikap Namaskara/penghormatan umat Buddha di hadapan altar suci Sang Buddha, sama halnya dengan penghormatan, yang kita arahkan kepada bendera Merah Putih, yang merupakan lambang persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Umat Buddha menghormati dan menghargai bendera Merah Putih, juga atas dasar wujud terima kasih atas pengorbanan dan perjuangan para pahlawan terdahulu, dan demikan juga halnya dengan patungnya Sang Buddha. Pada waktu kita bernamaskara dihadapan altar suci Sang Buddha, disanalah kita merenungkan kembali, apalah artinya diriku ini jika tanpa bimbingan dan tuntunan Dharma (ajaran Nya Sang Buddha) Dari segi keagungan, aku sama sekali tiada artinya dibandingkan Sang Buddha, hidupku selalu terbelenggu oleh nafsu nafsu keduniawian, ingin makan yang enak, rumah yang indah, istri/suami yang cantik/gagah, ingin ini dan itu…akhirnya kabut avijja (ketidak tahuan) semakin tebal menyelimuti diriku…. Hanya, Sang Buddhalah yang bisa menerangi diriku agar terlepas dari "dukkha : derita" yang mendalam ini. Dengan selalu mengadakan perenungan perenungan ini, maka tanpa disadari, kita telah belajar menekan ke AKU an, yang begitu kentalnya, melekat di hati sanubari. Itulah salah satu manfaat yang di peroleh di Vihara/Cetiya.
-
Mendapat perlindungan melalui pembacaan PARITTA/MANTRAM suci.
Setelah kita ber namaskara (berlutut dan bersujud), tahapan selanjutnya adalah kita ikut serta di dalam penglafalan/pengumandangan Paritta Paritta/Mantram Mantram atau Sutra Sutra suci. Secara garis besarnya, Paritta berarti perlindungan. Kalau kita menglafalkan Paritta dengan penuh ketenangan dan konsentrasi serta memancarkan getaran getaran cinta kasih, ke segala penjuru demi kebahagiaan semua makhluk. Maka dalam hal ini, kita telah membuat suatu perlindungan yang sejati, baik melalui pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani. Pembacaan Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, akan bisa meredakan dan menghilangkan sifat negatif dari diri kita, misalnya : membenci, serakah maupun irihati.
Dan semua isi dari Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, hanya berpondasikan pada cinta kasih dan kasih sayang, untuk semua makhluk hidup, tanpa diboncengi oleh unsur diskriminasi. Dengan berhasilnya kita mengakhiri sifat-sifat jahat, maka kehidupan ini akan senantiasa dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan baik.Terhindari dari perbuatan perbuatan jahat, sama artinya, hidup dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hidup yang dipenuhi oleh kedamaian dan ketentraman, akan mencegah tercetusnya karma karma jelek.
-
Keterangan pikiran melalui MEDITASI (Pengkonsentras-an / Pengontrolan Pikiran).
Umumnya, disetiap kali kebhaktian di Vihara/Cetiya, setelah mengumamdangkan Paritta Paritta /Mantram Mantram suci, akan dilanjutkan dengan pelaksanaan "Metta Bhavana : Meditasi Cinta Kasih . Ditahapan ini, kita dilatih untuk mengkonsentrasikan pikiran pada hal hal yang baik, setelah itu dipancarkan kembali ke segala penjuru, baik kepada kedua orang tua yang dicintai, saudara/ri sedharma, semua manusia, dan semua makhluk (hewan), baik yang terlihat maupun tidak terlihat (misalnya : setan), dengan hanya satu doa dan pengharapan yang tulus ""Semoga semua makhluk hidup, hendaknya senantiasa hidup di dalam kedamaian,ketentraman dan kebahagiaan " Adanya kemampuan untuk mengkonsentrasikan pikiran ke hal-hal yang baik, merupakan kunci utama bagi diri kita agar terbebaskan dari lingkaran derita. Orang yang memiliki ketenangan pikiran, tidak akan pernah merasa kecewa, frustasi, stress ataupun minder.
Sang Buddha menyabdakan bahwa pikiran sangatlah dominan, menentukan bahagia tidaknya kehidupan kita ini. Di dalam kitab suci Dhammapada Citta Vagga III : 39, Sang Buddha bersabda : " Orang yang pikirannnya teguh, yang tiada tergoyahkan oleh nafsunya, yang tidak terangsang oleh kebencian, akan dapat mengatasi segala macam kejahatan dan kebaikan. Orang yang ulet dan sadar seperti itu, tiada lagi ketakutan yang akan menimpanya……." Itulah manfaat besar dari pelaksanaan meditasi yang benar dan baik, baik di Vihara maupun Cetiya. Manfaat-manfaat lain atas kemampuan meditasi, sebenarnya cukup banyak. Tetapi yang terpenting adalah orang yang mampu bermeditasi, tidak akan bisa di pengaruhi oleh orang-orang bodoh (hidup selalu diliputi oleh penderitaan karena ketidak-mampuan, membedakan mana yang baik dan salah), untuk mau melakukan perbuatan perbuatan tercela. Hidupnya akan senantiasa stabil dan tak tergoncangkan, baik ditimpa kemalangan maupun meraih kebahagiaan.
-
Bertambah kebijaksanaan setelah DHARMASAVANA (mendengarkan khotbah Dharma)
Kebhaktian yang lengkap adalah selain adanya pembacaan Paritta Paritta atau Mantram Mantram suci dan meditasi, juga diisi dengan dharmasavana (Pembabaran Dharma atau penguraian ajaran ajaran luhur Sang Buddha). Ada empat manfaat yang bisa dipetik, disaat mendengarkan kotbah dharma. Pertama disebut dengan Assutam Sunati.
Dapat mendengar dharma, yang sebelumnya belum tahu. Disini, terbukalah mata bathin kita bahwa yang dimaksud dengan dharma (kebenaran) adalah ini dan Adharma (bukan kebenaran)adalah itu. Dengan dimilikinya pengetahuan akan inilah kebenaran dan itulah ketidakbenaran, maka peluang untuk terjerumus ke liang dukkha (derita), persentasenya adalah nol koma nol nol nol persen. Disaat ini, kita sudah tahu, mana yang seharusnya di hindari dan mana yang seharusnya dilaksanakan, apa yang di maksud dengan perbuatan baik dan jahat, serta mana yang salah dan mana yang benar.
Kedua disebut denganSuttam Pariyodapati. Setelah mengerti dharma (kebenaran) yang telah didengar maka kesalahpahaman yang terjadi selama ini, akan tersirnakan segera. Sebelumnya, mungkin saja kita beranggapan bahwa ke Vihara/Cetiya, tiadalah manfaatnya sama sekali, tetapi setelah dimilikinya pengertian benar ini, maka anggapan atau pandangan salah tersebut, sirnalah sudah. Dalam hal ini, dengan dimilikinya pengertian benar ini, juga akan memotivasi diri kita agar semakin giat dan ulet, di dalam penimbunan penimbunankebajikan.
Ketiga disebut dengan Kankham vihanati.Di tahapan ini, keragu-raguan akan kebenaran Dharma, telah berhasil disingkirkan. Dalam hal ini, belenggu bathin (keragu-raguan) akan kebenaran Dharma, sudah terhapuskan sehingga setiap pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani, telah terfilter dengan baik. Kita tak akan pernah kecewa, sedih ataupun sakit hati, seandainya dicela ataupun tidak di hargai. Mengapa..? Karena kita telah menyadari dengan baik bahwa kondisi apapun yg terjadi, tidaklah terlepas dari pada karma, yang sudah seharusnya diterima.
Keempat disebut dengan Ditthim Ujum Karoti. Ditahapan ini, kita telah memiliki pandangan hidup yang benar. Dengan dimilikinya pandangan hidup yang benar, maka kita akan mampu melihat segala sesuatu, atas dasar apa adanya. Dan disaat memutuskan suatu prihal, tanpa lagi diboncengi oleh unsur kemelekatan. Dalam hal ini, kebijaksanaan sudah mulai meningkat. Hidup pun akan semakin semangat dan tidak akan pernah terpengaruh oleh hasutan maupun gosipan. Kelima disebut dengan Cittamassa Pasidati. Di tahapan ini, pikiran sudah terbersihkan dari kekotoran bathin. Kalau pikiran sudah terkontrol dengan baik maka segala tindakan maupun perbuatannya, tidak akan pernah lagi, menimbulkan penyesalan maupun penderitaan, bagi makhluk manapun yang ada di sekitarnya.
Sang Buddha menyabdakan : " Orang yang dapat menghayati Dharma, hidupnya berbahagia, pikirannya selalu tenang dan seimbang. Seperti halnya orang bijaksana, yang selalu gembira dalam menghayati Dharma, yang di babarkan oleh para Ariya".
-
Bebas dari kemelekatan (keserakahan) melalui DANA PARAMITA.
Didalam kitab suci Dhammapada Tanha Vagga XXIV : 338, Sang Buddha menyabdakan : "Sebatang pohon yang telah di tebang, masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi, apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak di hancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan maka penderitaan, akan tumbuh berulang kali". Dengan adanya pelaksanaan Dana Paramita (beramal) di Vihara/Cetiya, kita diajarkan untuk melepaskan kemelekatan, yang terdapat pada diri kita. Kemelekatan akan keduniawian ini jika sedikit demi sedikit dilatih atau dikikis, melalui pelaksanaan dana paramita maka akhirnya, kehidupan ini akan terbebas dari belenggu keserakahan. Adanya kemampuan untuk mau berdana dengan benar, tanpa paksaan serta ikhlas, secara tidak langsung, kita sudah menekan lobha (keserakahan) yang selama ini, membelenggu bathin kita. Orang yang telah terlepas dari belenggu (kemelekatan) duniawi, akan mampu (bisa) menikmati kehidupan ini dengan penuh kebahagiaan.
Kesimpulan :
Dengan demikian, secara garis besarnya, terdapat lima manfaat yang bisa raih, jika kita rutin di dalam pelaksanaan kebhaktian. Manfaat manfaat tersebut adalah:
Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan namaskara. Ditahapan ini, kita diajarkan untuk senantiasa rendah hati, tidak angkuh/sombong, serta memiliki keluhuran budi. Orang yang tidak sombong/angkuh akan selalu di cintai dan di hargai, di manapun dia berada. Hidupnya akan selalu terlindung, akibat dari kemuliaan sifat yang dimiliki.
Mendapatkan perlindungan sejati, melalui penglafalan Paritta Paritta/Mantram Mantram suci.
Pikiran menjadi tenang dan terkontrol dengan baik melalui pelaksanaan meditasi. Pikiran yang terkontrol dengan baik, tidak akan bisa tercemari oleh niat niat jahat. Terbebaskan dari niat niat jahat, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kebijaksanaan akan meningkat, melalui rutinnya mendengar dharma (dhammasavana). Orang bijaksana di dalam tutur kata maupun tindakannya, tidaklah akan menimbulkan kerugian maupun penderitaan, bagi siapapun juga. Dia bagaikan pelita yang menerangi kegelapan.
Bebas dari kemelekatan, melalui pelaksanaan dana paramita. Orang yg bebas dari unsur kemelekatan, tidak akan frustasi atau kecewa, dikala tertimpah musibah maupun kemalangan. Kemelekatan akan apapun juga, itulah pencetus timbulnya dukkha (derita) yang sesungguhnya.
Semoga dengan adanya penjelasan yang singkat ini, keyakinan kita untuk mau melaksanakan kebhaktian, akan semakin teguh dan baik. Kebhaktian bukan lagi didasarkan pada pamrih akan ini dan itu, atau karena takut diberikan sanksi oleh guru agamanya (bagi murid murid sekolah). Kebhaktian dalam hal ini, sudah merupakan sesuatu yg disenangi dan dijadikan prioritas utama. "SEMOGA DENGAN DIKETAHUINYA MANFAAT-MANFAAT KEBHAKTIAN DAN BERKAHNYA INI, SEMBOYAN LIBUR SEKOLAH, LIBUR PULA KEBHAKTIAN, ATAU JIKA ADA WAKTU, BARULAH KEBHAKTIAN, SUDAH TIDAK DIJUMPAI LAGI ".
Ingatlah selalu bahwa tanpa adanya penanaman bibit kebajikan maka yang namanya kebahagiaan, tidaklah akan pernah dirasakan! "Sabbe satta sabbadukkha pamuccantu-Sabbe satta bhavantu sukhitata : Semoga semua makhluk terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia…. Sa-dhu…..Sa-dhu…..Sa-dhu…..